Salah satu masalah klasik yang kita hadapi saat Ramadan adalah peningkatan jumlah sampah yang sangat fantastis. Untuk wilayah Jakarta saja, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta pada 2018 lalu mencatat terjadi peningkatan tonase sampah sebesar 289 ton per hari atau meningkat empat persen dari bulan biasa. Peningkatan ini disebabkan oleh perubahan dan peningkatan pola konsumsi masyarakat pada waktu berbuka puasa dan sahur. Kenaikan jumlah sampah umumnya juga terjadi di daerah-daerah lain terutama kota-kota besar yang memiliki tren peningkatan konsumsi selama Ramadan. Sejumlah aktivis lingkungan memperkirakan, setidaknya terjadi peningkatan sebanyak 500 ton sampah makanan khusus Ramadan. Sama dengan Jakarta, kebanyakan sampah adalah gabungan dari makanan yang tidak habis serta kemasan makanan.
Peningkatan jumlah sampah yang sangat signifikan ini
tentunya sangat mengkhawatirkan mengingat pada bulan-bulan lain di luar
Ramadan, produksi sampah kita terutama yang berasal dari sisa makanan,
menempati peringkat kedua dunia yakni sebanyak 300
kilogram per orang per tahun. Data yang dilansir oleh Pusat Makanan dan Nutrisi
Barilla pada tahun 2018 yang juga dimuat oleh The Economist Intelligence Unit
ini mencatat Arab Saudi di posisi pertama dengan jumlah sampah makanan mencapai
427 kilogram per orang per tahun. Disusul oleh Amerika Serikat di posisi ketiga
dengan jumlah 277 kilogram per orang per tahun.
Peningkatan pola konsumsi masyarakat
yang meningkat saat Ramadan dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya, massifnya
iklan konsumtif yang gencar ditayangkan bahkan jauh hari sebelum Ramadan.
Iklan-iklan Ramadan yang gencar itu sedikit banyak terinternalisasi yang
kemudian mempengaruhi pola pikir dan orientasi Ramadan kita. Ramadan sebagai
bulan ibadah menjadi bulan konsumtif. Selain identik dengan sampah yang bertambah signifikan,
Ramadan juga identik sebagai bulan inflasi karena meningkatnya permintaan
masyarakat terutama terhadap sejumlah bahan pangan pokok dan sejumlah komoditi
lain yang identik dengan puasa dan hari raya.
Dari Konsumtif
menjadi Berbagi
Sifat konsumtif seyogyanya merupakan salah satu sifat
alami manusia. Sifat alamiah ini bisa berkembang tak terkendali saat dikompori
oleh iklan-iklan yang sangat massif dan diskon besar-besaran, terlebih juga
ketika didukung oleh kemampuan finansial yang memadai. Atau kemudahan berutang
yang kini nyaris semudah membalik telapak tangan. Jadinya, semangat Ramadan
untuk mengatrol ibadah seringkali terbelokkan menjadi semangat untuk mengejar
barang-barang konsumtif. Seperti anekdot yang sering muncul terutama di
pertengahan dan akhir Ramadan, semangat lailatul qadar yang berubah
menjadi lailatul diskon. Masjid menjadi lebih sepi, sementara mal-mal
dan pusat perbelanjaan semakin penuh sesak. Sangat kontekstual ajaran Islam
akan Ramadan terhadap fenomena ini yang salah satu esensi terbesarnya adalah
pengendalian diri.
Menilik kondisi negeri akhir-akhir ini,pengendalian diri
dalam banyak hal menjadi salah satu sikap bijak yang sangat kontekstual.
Mengendalikan diri dari hawa nafsu belanja misalnya, semestinya patut dilakukan
mengingat Ramadan dan Idul Fitri tahun ini berdekatan dengan tahun ajaran baru
yang artinya ada pos pengeluaran yang semestinya lebih menjadi prioritas.
Menyederhanakan konsumsi juga bisa menjadi aktualisasi rasa empati kita
terhadap banyak bencana alam dan kemanusiaan yang terjadi akhir-akhir ini baik
di dalam maupun luar negeri. Pengendalian diri juga relevan untuk diterapkan
dalam hal menyikapi hoax yang bertebaran dan kekisruhan terkait pemilu yang
belum juga usai. Ramadan semestinya menjadi momentum untuk mengasah pribadi,
karakter dan juga hati nurani.
Kembali pada
persoalan sampah makanan saat Ramadan, sikap konsumtif kita yang meningkat pada
bulan suci ini sebenarnya sangat kontradiktif dengan semangat Ramadan yang
dicontohkan oleh Baginda Rasulullah yang justru sangat sederhana dalam hal
konsumsi namun bertambah istimewa dalam hal ibadah. Kita memang tidak bisa
menyamai beliau, namun sejumlah teladannya sangat mungkin kita terapkan dalam
keseharian kita saat Ramadan. Dalam hal makanan misalnya. Rasulullah
mencontohkan makan kurma saat berbuka dan penutup di saat sahur. Selain sehat
dan baik bagi pencernaan, mengonsumsi kurma juga ramah lingkungan. Dari sudut
pandang zero waste, mengonsumsi kurma
sebagai pengganti camilan akan meminimalisir produksi sampah.
Pengendalian
diri dalam hal makanan sebenarnya tidak semata terkait dengan persoalan perut
saja. Menarik apa yang dikemukakan oleh dokter Umar Faruq Abdallah, seorang
cendekiawan muslim dunia, bahwa kemampuan kita dalam mengontrol makanan dan
minuman akan sangat berpengaruh terhadap kemampuan kita terhadap kontrol diri
yang lainnya. Banyak nasihat dan pendapat lain yang juga senada dengan dokter
Umar Faruq ini. Selain terkait dengan kemampuan mengontrol diri secara umum,
pengendalian diri dalam hal makanan juga memiliki banyak manfaat yang baik bagi
kesehatan. Salah satunya untuk menekan obesitas yang bisa memicu sejumlah
penyakit.
Sifat konsumtif ini sebenarnya bisa kita alihkan menjadi
semangat untuk berbagi sebagaimana juga dicontohkan oleh Rasulullah. Di mana
pada bulan Ramadan, sifat kedermawanan beliau mencapai titik terbaiknya. Ini
bisa menjadi solusi untuk mengalihkan
hasrat konsumsi kita ke jalan yang lebih baik dan bermanfaat. Di saat sebagian
kita berlimpah makanan, sebagian saudara kita justru kekurangan atau masih
mengalami gizi buruk atau stunting. Belum lagi sejumlah daerah yang
mengalami bencana karena problem lingkungan dan atau masalah lainnya.
Sebagaimana halnya sifat konsumtif, sifat berbagi ini seyogyanya
adalah juga sifat alamiah kita yang seringkali terpinggirkan oleh nafsu yang
lainnya. Dan Ramadan adalah momen untuk mengaktualisasikannya untuk juga
membersihkan ‘sampah-sampah’ di hati dan harta kita.
** Tulisan telah dimuat di Rubrik Kolom News.detik.com, selengkapnya bisa dilihat di Sampah Bulan Ramadan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar