Per 1 Januari 2019, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan genap berusia 5 tahun. Dengan jumlah peserta per 1 Juli 2018 yang mencapai 199 juta jiwa atau sekitar 80 persen dari keseluruhan populasi penduduk Indonesia, BPJS Kesehatan menjadi peserta program jaminan sosial terbesar di dunia. Jumlah peserta BPJS akan terus meningkat sebagaimana target pemerintah mencapai Universal Health Coverage (UHC) pada 2019. Artinya, sebanyak 257 juta penduduk Indonesia sudah harus menjadi peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Sejumlah sanksi telah disiapkan bagi mereka yang tidak mematuhi aturan ini. Seperti, tidak bisa membuat sejumlah dokumen kependudukan. Pra kondisi peraturan ini bahkan telah berlangsung sejak 1-2 tahun terakhir. Menjadi peserta BPJS Kesehatan telah menjadi syarat wajib untuk berbagai kepentingan, seperti melamar pekerjaan di sejumlah instansi. Baik pemerintah maupun swasta.
Ada banyak alasan, faktor dan
kepentingan di balik keharusan bagi seluruh warga negara menjadi peserta BPJS
Kesehatan per 1 Januari 2019 nanti. Salah satunya, menarik mengaitkannya dengan
defisit anggaran yang selalu dialami BPJS Kesehatan. Defisit keuangan BPJS
Kesehatan terus naik dari tahun ke tahun. Defisit keuangan BPJS Kesehatan pada
2018 ini diperkirakan mencapai Rp 11,2 triliun. Jumlah ini naik dari tahun 2017
yang sebesar Rp 9 triliun dan 2016 yang sebesar Rp 9,7 triliun. Terpenuhinya
target kepesertaan hingga akhir tahun diharapkan dapat menutupi sebagian defisit
BPJS Kesehatan. Hanya sebagian, karena berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
84 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan, ada tiga
pilihan untuk meningkatkan kapasitas keuangan BPJS, yakni dari penyesuaian
iuran, penyesuaian manfaat dan bantuan dana pemerintah.
Selain karena jumlah peserta yang belum
sesuai target, besaran iuran peserta BPJS yang relatif murah terutama untuk
kelas II dan III, juga sering dianggap turut berkontribusi terhadap defisit
anggaran BPJS Kesehatan. Saat ini, iuran masyarakat untuk kelas III adalah
sebesar Rp 25.500 per bulan. Ada kekurangan anggaran Rp 27.500 karena
berdasarkan hitungan aktuaria seharusnya iuran kelas III adalah sebesar Rp
53.000. Defisit sebesar Rp 12.000 per bulan untuk kelas II yang saat ini
dikenai iuran Rp 51.000 per bulan. Sedangkan untuk hitungan iuran kelas I
sebesar Rp 80.000 sudah pas dengan hitungan aktuaria. Adapun untuk peserta BPJS
Kesehatan yang ditanggung pemerintah baik melalui APBN maupun APBD dengan total
peserta sekitar 108,99 juta orang, ada minus anggaran sebesar Rp 13.000 per
orang. Besaran premi yang defisit ini masih diperparah oleh banyaknya peserta
BPJS Kesehatan yang menunggak. Sepanjang tahun 2017 saja, tercatat sebanyak 12 juta peserta
BPJS Kesehatan yang menunggak iuran mereka.
Selain hitungan matematis di atas,
menarik juga untuk menelisik kondisi dan kesiapan masyarakat dalam menerima
kehadiran BPJS Kesehatan. Mengapa mereka berbondong-bondong ‘menyerbu’ rumah
sakit di awal-awal BPJS Kesehatan ada, dan rumah sakit-rumah sakit tetap ramai
ketika pemerintah mulai melakukan ‘pengetatan’ fasilitas dan layanan BPJS
Kesehatan. Menarik juga untuk sedikit mengulas mengapa mereka menunggak iuran, yang
pada akhirnya turut menyumbang defisit anggaran BPJS Kesehatan.
Euforia
Awal BPJS Kesehatan berdiri, 1 Januari 2014, masyarakat
seperti menemukan oase baru. Euforia melanda masyarakat kita yang mayoritas
masih awam dan umumnya tak banyak yang bisa menjangkau asuransi kesehatan
swasta yang mahal. Asuransi kesehatan hanya bagi mereka yang berstatus Pegawai
Negeri Sipil (PNS), TNI/Polri ataupun karyawan swasta. Rumah sakit dan
pengobatan medis tak menjadi pilihan karena berarti harus merogoh kocek
dalam-dalam. Lalu BPJS Kesehatan hadir dengan syarat kepesertaan yang begitu
mudah di awal berdiri dengan cakupan layanan kesehatan yang cukup luas ketika
itu. Bahkan, layanan kesehatan rawat inap di rumah sakit bisa langsung
dinikmati, sedang kepesertaan BPJS Kesehatan bisa menyusul kemudian.
Layanan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (Faskes I)
yang umumnya masih minim, ditambah dengan aturan yang masih longgar, membuat
pasien dengan mudah dirujuk ke rumah sakit baik untuk rawat jalan maupun rawat
inap. Rumah sakit dibanjiri pasien bahkan hingga dini hari untuk rumah sakit
swasta yang membuka praktik layanan dokter spesialis sore dan malam hari.
Kamar-kamar rawat inap sering penuh. Masyarakat bisa menikmati semua fasilitas
ini hanya dengan membayar iuran satu bulan untuk yang menjadi peserta BPJS
Kesehatan saja. Syarat kepesertaan yang mudah dan murah ini membuat banyak
masyarakat yang mulai aware dengan kesehatannya. Anggota keluarga yang
terindikasi atau berpotensi sakit didaftarkan, begitu pula dengan yang lansia
sebagai langkah antisipasi.
Dari sisi tenaga kesehatan dan penyelenggara layanan, membludaknya
pasien yang berobat membuat mereka kewalahan. Animo masyarakat yang semakin
tinggi menjadi peserta BPJS Kesehatan tak berbanding lurus dengan faskes dan
tenaga kesehatan yang ada. Satu per satu masalah muncul dan mulai dikeluhkan.
Baik oleh tenaga kesehatan dan penyelenggara layanan maupun oleh pasien dan
masyarakat. Seiring dengan itu, BPJS Kesehatan juga mulai melakukan pengetatan dan
perubahan terhadap sejumlah aturan. Mulai dari premi yang mengalami kenaikan
untuk kelas I dan II, peraturan mengenai jenis penyakit yang harus ditangani di
Faskes I saja tanpa dirujuk ke rumah sakit, dan keharusan mendaftarkan seluruh
anggota keluarga serta denda dan sanksi bagi mereka yang menunggak.
Bom Waktu
Euforia masyarakat untuk menikmati aneka layanan kesehatan
melalui BPJS Kesehatan dengan premi murah menjadi salah satu faktor yang
membuat masyarakat berbondong-bondong ‘menyerbu’ layanan kesehatan baik di
Faskes I maupun rumah sakit. Masyarakat mulai beralih dari berbagai pengobatan
alternatif dan tradisional ke pengobatan medis. Ketika euforia masyarakat mulai
melandai seiring dengan ketatnya kebijakan baru BPJS Kesehatan, kunjungan
pasien ke berbagai layanan kesehatan ternyata tetap ramai. Sebuah kondisi yang
menunjukkan bahwa ada persoalan kesehatan besar yang dialami masyarakat, yakni
bom waktu kesehatan yang selama ini terbentuk dan tersimpan dalam kurun waktu
yang cukup lama.
Secara umum masyarakat kita belum memiliki kualitas
kesehatan yang baik. Banyak faktor yang mempengaruhi, seperti pola konsumsi
yang tidak sehat, pola hidup yang kurang baik, kualitas lingkungan yang terus
menurun dan masih banyak lagi. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah penyakit
mengalami peningkatan peringkat secara signifikan. Sebagai contoh, penyakit
jantung dan pembuluh darah yang pada tahun 1990-an tidak masuk dalam 10 besar, pada
tahun 2000-an menduduki peringkat ke lima, dan dalam beberapa tahun terakhir langsung
menduduki posisi nomor dua. Begitu juga dengan Diabetes Melitus yang pada
tahun 1900-an tidak terlalu jelas disebut dalam 10 besar penyakit mematikan,
tahun 2000-an menjadi penyakit mematikan keenam. Pada 2014 menduduki peringkat
ketiga.
Terselenggaranya Universal
Health Coverage (UHC) yang optimal semestinya tidak hanya melibatkan masyarakat
secara formal melalui keanggotaan dan preminya. Yang tidak kalah penting juga
adalah kesiapan mereka secara pemahaman. Paham tentang hak dan kewajiban
sebagai peserta JKN-KIS BPJS Kesehatan. Paham juga bahwa penjaga kesehatan
utama seyogyanya adalah diri masing-masing.
Tulisan telah dimuat di Koran Jakarta, pada 27 Agustus 2018. Bisa dilihat di http://www.koran-jakarta.com/problem-bpjs-kesehatan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar