“Kalian
tahu ‘stunting’”? tanya saya pada anak-anak yang sedang asyik menonton tivi. Kedua putri saya, Sasha (14 tahun) dan Naura (10 tahun), mengeryitkan
wajah tak paham hampir bersamaan.
“Stunting.
S-T-U-N-T-I-N-G?” saya pun mengejanya, tapi ekspresi tak paham masih saja
mereka tunjukkan. Saya paham jika mereka merasa asing dengan istilah ini, dan
saya merasa bersalah. Baru terpikirkan untuk ‘mengajari’ mereka setelah masalah
ini mencuat hingga perlu dikampanyekan secara nasional.
“Stunting artinya gagal tumbuh. Tanda yang mudah terlihat apakah
seseorang itu mungkin terkena stunting, dia berperawakan lebih kecil bahkan
cenderung kerdil di antara orang kebanyakan….” jelas saya kemudian.
“Teman
kalian ada yang seperti itu?” anak-anak pun lalu menceritakan tentang
teman-temannya yang memiliki ciri-ciri seperti stunting. Cerita mereka
cukup mengejutkan. Bahwa di daerah perkotaan, bahkan di sekolah favorit yang
identik dengan kalangan mampu, anak-anak berciri stunting ternyata jumlahnya
cukup signifikan.
“Kalian
tahu stunting itu karena apa?” saya pun kemudian menggiring anak-anak untuk
membahas lebih jauh lagi tentang stunting. Kami cukup terbiasa dengan diskusi
semacam ini, terutama yang terkait kesehatan dan kehidupan sehari-hari. Perlahan,
ekspresi kebingungan dan tak paham di wajah mereka, berganti rasa ingin
tahu lebih jauh lagi.
“Penyebab
utamanya adalah karena kekurangan gizi baik karena asupan makanan yang kurang baik ataupun karena kesalahan dalam pola makan. Itulah mengapa, stunting
juga bisa menimpa anak-anak kalangan mampu. Di sinilah pentingnya pola
makan seimbang. Tahu kan pola makan seimbang itu seperti apa?”anak-anak terus
menyimak dan sepertinya mulai paham ke mana arah pembicaraan kami.
“Stunting
sudah mulai bisa terdeteksi dari bayi lho. Semakin cepat terdeteksi, semakin
besar peluang mengantisipasinya. Stunting sangat perlu dicegah tidak
semata agar secara fisik memiliki tubuh yang normal, namun juga kecerdasan yang
optimal. Sekalipun kalian sudah bukan bayi lagi, makan seimbang dengan gizi
yang cukup tetap perlu dipertahankan. Kalian kan masih dalam masa pertumbuhan
juga….”.
Pesan
inti dari obrolan kami akhirnya tersampaikan. Si adik yang kurang suka sayur
tertawa. Dia merasa tersindir rupanya, hehe. Sementara si kakak semakin
termotivasi untuk lebih giat berolahraga. Agar di sisa masa pertumbuhannya,
tubuhnya tidak hanya tumbuh ke samping, tapi juga ke atas.
*
* *
Stunting
Bukan Masalah Ekonomi Semata
Jauh
sebelum stunting menjadi buzzword seperti sekarang, jujur,
saya menganggapnya sebagai masalah kesehatan kalangan ekonomi lemah, mereka
yang tinggal di pelosok atau daerah tertinggal. Nyatanya, stunting ada di
mana-mana. Bahkan bisa terjadi dalam lingkungan atau komunitas kalangan mapan. Dari
presentasi keseluruhan stunting di Indonesia, 29% kasus stunting justru datang
dari keluarga mampu. Ini artinya, bukan faktor ekonomi saja yang membuat anak
kekurangan gizi lalu stunting, tapi juga bisa karena faktor lain seperti
lingkungan yang tidak baik, faktor pernikahan dini, hingga faktor
ketidakmampuan orang tua dalam mengasuh anak, khususnya keluarga muda.
Meta
analisis yang dilakukan The Lancer di Inggris terhadap beberapa
negara stunting mengungkapkan bahwa terobosan untuk mengatasi stunting tidak
hanya berhubungan dengan kesehatan dan gizi saja, seperti makanan tambahan,
imunisasi dan penyuluhan gizi di Posyandu, yang ternyata hanya memberi
pengaruh sebesar 30% saja. Sedangkan 70% sisanya merupakan intervensi di luar
kesehatan, seperti sanitasi dan air bersih, penundaan usia perkawinan,
penyiapan calon pengantin, merangsang ibu-ibu untuk mengerti pentingnya parenting dan
stimulasi, serta masih banyak lagi. Dengan pengetahuan tentang anak yang minim,
keluarga muda cenderung tidak siap untuk menjadi orang tua, sehingga tidak
heran jika 29% anak penderita stunting berasal dari keluarga mampu.
Dari
penjabaran meta analisis The Lancer ini, faktor pengetahuan
dan kesiapan orang tua yang minim tentang parenting dan problem tumbuh kembang
anak terutama dari kalangan keluarga muda patut menjadi perhatian kita semua. 1000
HPK bisa dibilang adalah periode di mana kita ‘berperang’. Semakin baik
persiapan kita, semakin besar peluang kita untuk menang. Begitu pula
sebaliknya. Tingginya persentase stunting dari kalangan berada di masa sekarang
bisa jadi adalah buah dari kealpaan kita di masa lalu dalam mempersiapkan
generasi muda ketika itu dalam menyongsong 1000 HPK dengan baik. Kita mesti
belajar, agar ini tidak terulang. Terlebih ketika kita memimpikan terwujudnya generasi
emas pada 2045 mendatang. Maka, mempersiapkan generasi muda masa kini yang
sadar dan peduli 1000 HPK adalah kebutuhan yang tak bisa kita tawar lagi.
Urgensi
Menabung Nutrisi, Informasi dan Kebiasaan Baik Sejak Dini
Ada tiga hal penting yang perlu disosialisasi dan diedukasikan sejak
dini pada generasi muda terkait dengan pentingnya 1000 HPK. Ketiga hal penting
itu antara lain pentingnya menabung nutrisi sejak dini, pengetahuan dan
informasi yang memadai, serta kebiasaan baik yang menjadi gaya hidup sehari-hari.
Pertama, generasi muda
khususnya remaja putri perlu diedukasi sejak dini tentang pentingnya
memperhatikan kebutuhan gizi sehari-hari. Jangan sampai defisit. Akan lebih
baik lagi jika mereka bisa menabung nutrisi sejak dini sejumlah zat penting
seperti zat besi, asam folat dan kalsium. Sejumlah zat penting ini tidak hanya
diperlukan dalam menyongsong 1000 HPK, namun juga penting untuk kesehatan yang
berkualitas sepanjang hidup. Terkait dengan 1000 HPK, banyak hal tak terduga
yang bisa terjadi dalam periode itu. Kehamilan yang terlambat terdeteksi, morning
sickness parah, hingga babyblues yang bisa berpengaruh pada asupan
nutrisi ibu yang pada akhirnya bisa berpengaruh juga pada asupan nutrisi anak.
Kedua, informasi dan pengetahuan juga
perlu disiapkan sejak dini, agar ketika tiba waktunya 1000 HPK berlangsung,
orang tua tidak panik, tidak gegabah, tidak pula mudah percaya pada mitos yang
bisa menyesatkan. Misalnya tentang ibu hamil dan anak-anak yang tidak boleh
makan ikan, atau anggapan bahwa susu formula memiliki kualitas lebih baik dari
ASI.
Ketiga, selain
tabungan nutrisi, pengetahuan dan informasi, generasi muda juga perlu
menjadikan kebiasaan baik sebagai gaya hidup sejak dini. Tidak hanya terkait
dengan pola makan, pola hidup dan pola asuh, namun juga kesadaran yang memadai
tentang pentingnya sanitasi lingkungan. Kebiasaan baik tidak bisa dikuasai
dalam sekejap. Perlu pembiasaan dalam kurun waktu lama. Jika menunggu 1000 HPK
berlangsung, sedang kita tidak tahu dan belum tentu siap dengan hal-hal tak
terduga yang mungkin terjadi, bukankah lebih baik jika kita mulai menabung
kebiasaan baik sejak dini?
Akhir kata,
mari kita siapkan generasi muda yang tanggap 1000 HPK sekarang juga. Ada banyak
media, cara dan sarana yang bisa kita pilih. Melalui diskusi, bacaan, gambar
maupun tontonan yang edukatif. Karena di tangan merekalah, generasi emas 2045
kita titipkan….
Iya, stunting ternyata dialami anak dari keluarga berada juga ya mba
BalasHapus