![]() |
Gambar dari www.6seconds.org |
Perpustakaan Kampoeng
Batja di hari Minggu biasa ramai dengan kegiatan keluarga. Ada yang asyik
membaca buku di ruang perpustakaan. Ada yang sibuk bermain aneka permainan di
teras. Ada yang berlari-lari di halaman. Atau main prusutan di taman.
Kadang ada latihan memanahnya juga. Kampoeng Batja yang terletak di area padat
penduduk di kota Jember ini memang selain diperuntukkan untuk taman bacaan
masyarakat, juga mendedikasikan dirinya sebagai tempat bagi berbagai kegiatan
bertema sosial dan pendidikan bagi masyarakat sekitar. Dan di hari Minggu di
bulan April saat itu, ada acara kumpul-kumpul yang sedikit beda dari biasanya.
Beberapa
orang tua hadir dengan anak-anaknya. Setiap orang tua nampaknya sudah berbagi
tugas dengan cukup baik. Ada orang tua yang menemani anak-anak bermain. Ada
orang tua yang intens mengajak anak-anak bercerita seperti layaknya teman.
Aneka camilan juga tersedia. Acara kumpul-kumpul yang seyogyanya bermisi
‘belajar’ itu menjadi tidak terasa seperti belajar bagi anak-anak. Mereka
terlihat rileks dan gembira. Saya yang tidak sengaja berkunjung ke Kampoeng
Batja saat itu, turut nimbrung dan mendapati, sebuah konsep besar aktualisasi
peran orang tua dan masyarakat dalam pendidikan yang kekinian sedang
dipraktikkan. Apakah itu? Sejumlah ayah dan ibu yang saya ajak ngobrol,
menyebut acara mereka sebagai collaborative parenting. Mendengar istilahnya
saja saya merasa seperti menemukan oase.
Setitik harapan
membuncah di hati saya, yang sejujurnya, saya pun mengalami semacam kebuntuan
dalam mencari pola asuh kekinian yang efektif dan nyaman bagi anak-anak saya
yang termasuk generasi milenial. Melihat sekelompok orang tua dan anak-anaknya
yang memraktikkan collaborative parenting hari itu, saya seperti menemukan
sejumlah benang merah dan solusi-solusi alternatif bagi sejumlah problematika
dan hambatan yang umum kita hadapi di masa sekarang.
Adaptasi
Konsep Collaborative Parenting di Indonesia
Konsep collaborative
parenting telah banyak dipraktikkan di negara-negara maju sebagai sebuah konsep
baru dalam pola pengasuhan yang mengedepankan pentingnya komunikasi, negosiasi,
dan kompromi antara anak dan dan orang tua. Dalam konsep ini, anak-anak juga
dilibatkan sebagai subjek aktif dalam pola pengasuhan yang suaranya didengar
dan dipertimbangkan sebagaimana halnya orang dewasa. Sikap orang tua yang
umumnya otoriter (top down) dalam pola pengasuhan konvensional mengalami
sejumlah penyesuaian-penyesuaian dengan kemampuan dan kemauan anak. Anak-anak
diberi ruang dan kesempatan lebih besar untuk berpendapat dan bernegosiasi
sehingga perdebatan, pertentangan dan penolakan mereka terhadap konsep
pengasuhan yang dibuat oleh orang tua dapat diminimalisir. Dengan collaborative
parenting diharapkan didapat titik temu yang nyaman bagi kedua belah pihak
sehingga proses pengasuhan bisa berjalan lebih baik dari sebelumnya. Salah satu referensi tentang collaborative parenting bisa dilihat di laman www.6seconds.org.
Jika di
negara maju konsep collaborative parenting lebih menekankan pada pola
pengasuhan yang umumnya lebih banyak melibatkan keluarga inti saja (anak dan
orang tua), maka collaborative parenting di Indonesia mengalami sejumlah
adaptasi sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Collaborative
parenting di negara kita memiliki cakupan yang lebih luas sejalan dengan
kompleksnya problematika pendidikan dan pengasuhan yang kita hadapi. Dalam
aktualisasinya, collaborative parenting dalam pendidikan kita tidak
hanya berbasis keluarga, namun juga komunitas baik dalam skala kecil dan
terbatas (kelompok/grup), hingga komunitas yang cukup besar (satu dusun atau
satu desa misalnya, atau gabungan dari sejumlah komunitas). Cakupan yang luas
membuat aktor-aktor yang terlibat pun kemudian banyak dan beragam. Mulai dari
anak dan orang tua, kerabat terdekat, lingkungan sekitar, komunitas, lembaga dan
sebagainya.
Salah satu komunitas
yang intens memraktikkan konsep collaborative parenting dan bisa menjadi
role model bagi praktik collaborative parenting di tanah air
adalah komunitas Tanoker Ledokombo di Jember Jawa Timur. Konsep collaborative
parenting oleh komunitas Tanoker utamanya ditujukan bagi anak-anak buruh
migran yang ditinggal orang tuanya (salah satu atau bahkan keduanya) bekerja ke
luar negeri dalam kurun waktu yang cukup lama. Anak-anak buruh migran yang
umumnya masih usia sekolah bahkan ada yang balita, sangat membutuhkan kehadiran
orang tua dalam proses tumbuh kembang mereka. Kekosongan ini tak bisa
dibiarkan. Karena pengasuhan seperti hutang. Jika tidak diberikan saat anak-anak masih kecil,
maka mereka akan menagihnya saat dewasa dalam bentuk perilaku yang menyebalkan. Kekhawatiran ini membuat sejumlah orang yang
peduli pendidikan, salah satunya Ibu Cicik, berusaha mencari solusi alternatif.
Di antaranya dengan menyelenggarakan sekolah bagi para ibu (Sekolah Bok-Ebok), bapak (Sekolah Pak-Bapak), bahkan kakek
nenek dari anak-anak buruh migran (Sekolah Yang-eyang), agar mereka bisa mengisi ‘ruang kosong’ yang
ditinggalkan oleh orang tua si anak. Potensi lost generation berusaha
diminimalisir. Pengasuhan dan pendidikan anak buruh migran diharapkan bisa
terus berjalan dengan baik dengan adanya orang-orang yang berkolaborasi secara
intens di sekitar mereka. Tentang penguatan collaborative parenting di Tanoker, salah satunya bisa dilihat di link berikut, tanoker.org.
![]() |
Salah satu kegiatan di Tanoker dalam rangka penguatan Collaborative Parenting. Sumber foto : tanoker.org |
Konsep collaborative parenting dalam
konteks yang lebih sederhana, yang hanya melibatkan sejumlah keluarga misalnya
seperti yang saya ditemui di Kampoeng Batja, secara umum mengadopsi
prinsip-prinsip dasar dalam collaborative parenting. Setidaknya saya
mencatat ada tiga prinsip dasar yang penting dalam collaborative parenting,
yakni : (1) adanya kolaborasi/kerjasama antar berbagai pihak dalam hal ini terutama
orang tua atau pihak-pihak yang memiliki peran dan fungsi sama, (2) melibatkan
anak secara aktif baik sebagai subjek maupun objek dalam pengasuhan, (3)
komunikasi yang intens antara pihak orang tua dan anak, termasuk di dalamnya
negosiasi dan kompromi tentang berbagai hal terkait dengan pengasuhan.
Ketiga prinsip dasar ini juga dapat diterapkan dalam skala lebih kecil lagi yakni keluarga inti. Ayah dan ibu menjadi partner yang saling berkolaborasi. Seyogyanya, ini adalah sebuah keharusan. Keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Namun dalam praktiknya, adakalanya terdapat ‘ruang kosong-ruang kosong’ yang tidak diisi dengan baik dan semestinya. Entah karena kesibukan salah satu orang tua yang sangat luar biasa. Atau kekurangmampuan orang tua sendiri dalam menghadapi hambatan dan tantangan pendidikan anak yang dirasa melampaui batas kemampuan mereka. Bila demikian, maka aktualisasi collaborative parenting dalam skup terkecil yakni keluarga, perlu dikaji kembali apakah telah berjalan dengan semestinya. Orang tua mungkin perlu berkolaborasi dengan pihak-pihak lain, orang tua lain misalnya, dalam rangka memaksimalkan pendidikan dan pengasuhan anak-anak, selain tentu saja berpartner baik dengan pihak sekolah.
Ketiga prinsip dasar ini juga dapat diterapkan dalam skala lebih kecil lagi yakni keluarga inti. Ayah dan ibu menjadi partner yang saling berkolaborasi. Seyogyanya, ini adalah sebuah keharusan. Keluarga adalah sekolah pertama dan utama bagi anak. Namun dalam praktiknya, adakalanya terdapat ‘ruang kosong-ruang kosong’ yang tidak diisi dengan baik dan semestinya. Entah karena kesibukan salah satu orang tua yang sangat luar biasa. Atau kekurangmampuan orang tua sendiri dalam menghadapi hambatan dan tantangan pendidikan anak yang dirasa melampaui batas kemampuan mereka. Bila demikian, maka aktualisasi collaborative parenting dalam skup terkecil yakni keluarga, perlu dikaji kembali apakah telah berjalan dengan semestinya. Orang tua mungkin perlu berkolaborasi dengan pihak-pihak lain, orang tua lain misalnya, dalam rangka memaksimalkan pendidikan dan pengasuhan anak-anak, selain tentu saja berpartner baik dengan pihak sekolah.
![]() |
Collaborative Parenting Tips dari www.6seconds.org |
Mengapa Kolaborasi
Penting?
Secara biologis, pendidikan
pola asuh anak adalah tanggung jawab penuh orang tua. Namun secara moral,
tanggung jawab mendidik anak-anak adalah tanggung jawab kita semua. Peran
kolaborasi antara orang tua, sekolah (pendidik) dan masyarakat/komunitas sangat
dibutuhkan.
![]() |
Integrasi Tri Pusat Pendidikan yang terdiri dari sekolah, masyarakat dan keluarga. Sumber foto : Twitter Kemdikbud |
Problematika
dan tantangan pendidikan di era milenial saat ini sangat kompleks. Pengaruh
televisi, gadget, lingkungan sosial yang tidak selalu kondusif, dan masih
banyak lagi. Anak-anak kita hidup di jaman yang penuh tantangan. Pendidikan
karakter berpacu dengan pengaruh hedonisme dan gaya hidup instan yang
bertebaran di mana-mana. Persaingan hidup yang semakin ketat juga menuntut
anak-anak memiliki life skill yang mumpuni. Ancaman dan persoalan serius
ini membuat para orang tua di era milenial merasa perlu untuk merapatkan
barisan. Seolah ingin berpacu dengan kecepatan pengaruh buruk gadget yang bisa
merusak anak. Beragam upaya dilakukan. Dan collaborative parenting hadir
sebagai salah satu solusi alternatif.
Collaborative
parenting terutama yang berbasis komunitas yang terdiri dari
para orang tua yang saling berkolaborasi, bisa menjadi aktualisasi dari
penguatan peran keluarga dan masyarakat dalam pendidikan yang kekinian. Dengan berkolaborasi,
para orang tua saling bergandengan tangan membentuk barisan yang solid dalam
rangka melindungi anak-anak mereka dari berbagai pengaruh buruk saat ini.
Saling berkolaborasi dengan kelebihannya masing-masing memberi anak kesempatan
dan fasilitas lebih besar untuk terus belajar dan belajar.
‘Anakku, Anakmu, Anak kita
bersama’
Collaborative
parenting terutama yang berbasis komunitas, memerlukan komitmen
yang besar. Menarik apa yang menjadi tagline komunitas Tanoker dalam rangka
penguatan collaborative parenting di sana, yakni ‘Anakku, Anakmu, Anak
kita bersama’. Memang perlu ada kesadaran mendalam dalam diri masing-masing orang tua yang berkolaborasi bahwa pendidikan anak secara
moral adalah tanggung jawab kita bersama, secara bersama-sama.
Lalu,
bagaimana memulainya? Kali ini saya ingin berbagi cerita tentang bagaimana
konsep collaborative parenting yang telah saya praktikkan dan yang masih
saya impikan hingga sekarang. Setelah membaca lebih banyak tentang collaborative
parenting, saya semakin meneguhkan komitmen untuk lebih memantapkan collaborative
parenting saya dengan suami. Pembagian tugas pengasuhan dibuat semakin
terarah dan jelas. Anak-anak yang kini semakin besar juga semakin saya
libatkan. Kesempatan mereka untuk menyuarakan pendapat dan bahkan protes kian
kami buka lebar. Tujuannya tentu saja agar pola pengasuhan ke depan semakin
optimal karena anak-anak memiliki sense of belonging sekaligus responsibility
terhadap pola pengasuhan yang kami sepakati.
Problematika
dan tantangan jaman semakin kompleks. Jujur, secara pribadi saya merasa, terlalu
berat untuk berjuang sendiri hanya dengan mengandalkan kolaborasi dalam
keluarga inti saja. Anak-anak perlu belajar tentang banyak hal selain di
sekolah, dan saya merasa tak bisa mengajari semuanya sendiri. Collaborative
parenting semestinya menjadi solusi. Tidak hanya agar mereka bisa belajar
lebih banyak lagi selain materi pelajaran di sekolah dan pelajaran lain yang
mampu diberikan oleh orang tuanya. Collaborative parenting dengan orang
tua lain saya rasa juga menjadi sarana bagi anak-anak untuk mengenal lebih
banyak orang selain yang sudah mereka kenal selama ini.
Secara umum, cikal bakal collaborative parenting di sekitar kita sebenarnya cukup potensial. Saat ini, seiring dengan tren di era digital, banyak orang tua yang memiliki komunitas berbasis internet. Salah satunya yang sangat populer adalah WhatsApp Group (WAG). Kehadiran WAG selain sebagai lifstyle, juga merupakan kebutuhan vital orang tua kekinian terutama untuk menjalin komunikasi dan kordinasi yang lebih intens dengan pihak sekolah. Tentang pentingnya membangun komunikasi yang efektif antara orang tua dan pihak sekolah, ada artikel menarik yang patut dibaca oleh para orang tua dari laman Sahabat Keluarga Kemdikbud, berjudul 'Pentingnya Membangun Komunikasi Efektif Orang Tua-Sekolah (klik di sini).
Maraknya penggunaan WAG di kalangan orang tua terkait dengan pendidikan anak-anaknya bisa menjadi indikasi bahwa orang tua sudah cukup terbiasa berkomunitas dan berkomunikasi. Tinggal lebih diarahkan tujuan dan prioritasnya. Untuk saya pribadi, ada sejumlah orang tua dan komunitas yang masuk dalam list saya sebagai kandidat partner untuk berkolaborasi. Pertama, anggota keluarga dalam lingkungan keluarga besar. Yang terdiri dari paman, bibi, atau bahkan kakek dan nenek anak-anak juga. Berkolaborasi dengan mereka memiliki nilai tambah. Selain bisa saling mengisi dalam hal hal pendidikan dan pengasuhan, juga bisa lebih menguatkan ikatan kekeluargaan. Kedua, komunitas saya dan suami. Misal sesama teman pengajian, komunitas hobi, paguyuban orang tua ataupun rekan kerja. Salah satu kelebihan berkolaborasi dengan para orang tua dari luar lingkungan keluarga akan membuat anak-anak mengenal lebih banyak orang selain keluarga dan teman-teman di sekolah. Ini sangat penting menurut saya. Bersosialisasi menjadi salah satu masalah besar anak-anak jaman sekarang. Sekolah yang umumnya full day, belum lagi ditambah dengan kegiatan ini itu. Sampai rumah sudah lelah atau kemudian sibuk dengan gadget, membuat anak menjadi jarang bersosialisasi. Collaborative parenting bisa menjadi sarana bagi anak untuk bersosialisasi.
![]() |
Satu orang, bisa tergabung dengan puluhan bahkan ratusan Whatsapp Grup (WAG). Sumber foto : http://nextren.grid.id |
Maraknya penggunaan WAG di kalangan orang tua terkait dengan pendidikan anak-anaknya bisa menjadi indikasi bahwa orang tua sudah cukup terbiasa berkomunitas dan berkomunikasi. Tinggal lebih diarahkan tujuan dan prioritasnya. Untuk saya pribadi, ada sejumlah orang tua dan komunitas yang masuk dalam list saya sebagai kandidat partner untuk berkolaborasi. Pertama, anggota keluarga dalam lingkungan keluarga besar. Yang terdiri dari paman, bibi, atau bahkan kakek dan nenek anak-anak juga. Berkolaborasi dengan mereka memiliki nilai tambah. Selain bisa saling mengisi dalam hal hal pendidikan dan pengasuhan, juga bisa lebih menguatkan ikatan kekeluargaan. Kedua, komunitas saya dan suami. Misal sesama teman pengajian, komunitas hobi, paguyuban orang tua ataupun rekan kerja. Salah satu kelebihan berkolaborasi dengan para orang tua dari luar lingkungan keluarga akan membuat anak-anak mengenal lebih banyak orang selain keluarga dan teman-teman di sekolah. Ini sangat penting menurut saya. Bersosialisasi menjadi salah satu masalah besar anak-anak jaman sekarang. Sekolah yang umumnya full day, belum lagi ditambah dengan kegiatan ini itu. Sampai rumah sudah lelah atau kemudian sibuk dengan gadget, membuat anak menjadi jarang bersosialisasi. Collaborative parenting bisa menjadi sarana bagi anak untuk bersosialisasi.
![]() |
Gadget dan anak, seringkali susah untuk dipisahkan. Sumber foto : www.matailmu.com |
Lalu,
bagaimana gambaran kegiatan dalam collaborative parenting? Ini
sebenarnya bersifat kasuistis sesuai dengan kondisi orang tua dan anak
masing-masing. Tahapan pertama, para orang tua perlu bersepakat tentang tujuan
besar dan problematika yang mereka hadapi. Lalu memetakan potensi yang ada. Misal,
ayah A bisa mengajari mengaji. Ayah B bisa mengajar komputer. Ibu C bisa
mengajar memasak. Ibu D bisa mengajar origami. Dan sebagainya, dan sebagainya. Potensi-potensi
orang tua yang sebelumnya tidak tahu mau disalurkan ke mana bisa menemukan ruang
aktualisasinya. Anak-anak bisa jadi semakin semangat belajar karena ada
temannya. Ada perubahan suasana juga karena belajar bersama dengan teman-teman
di luar teman-teman sekolah. Sepertinya menyenangkan ya? :) Acara dan
kegiatan dalam collaborative parenting dapat dibuat sesuai kesepakatan, misal
2 minggu sekali atau sebulan sekali.
Semoga bisa segera berkolaborasi dengan orang tua lain dalam collaborative parenting. Semoga tulisan ini juga bisa menginspirasi para orang tua untuk segera berkolaborasi.
Semoga bisa segera berkolaborasi dengan orang tua lain dalam collaborative parenting. Semoga tulisan ini juga bisa menginspirasi para orang tua untuk segera berkolaborasi.
* * *
Tulisan diikutsertakan dalam Lomba Blog Kemendikbud 2018 dengan tema “Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan di Era Kekinian”.
#collaborativeparenting
#sahabatkeluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar