![]() |
Dalam rangka menyongsong era revolusi industri jilid 4
(RI 4.0) yang sudah di depan mata, sektor pendidikan menjadi salah satu sektor
strategis yang mengalami pembenahan signifikan. Di Indonesia, salah satu
program konkritnya adalah melalui pendidikan vokasi industri baik di jenjang
perguruan tinggi maupun di tingkat sekolah menengah kejuruan (SMK). Program ini
juga diharapkan menjadi solusi bagi problematika mismatch atau
ketidaksesuaian antara output pendidikan dan kebutuhan dunia kerja di
tanah air. Data ILO menyebutkan, hanya sekitar 37 persen dari total output
pendidikan di Indonesia yang well match.
Pendidikan vokasi
kita memang masih rendah. Dari total sistem pendidikan di Indonesia, baru 5,6
persen yang berbasis vokasi. Sementara di negara-negara maju, persentase
pendidikan vokasi berimbang dengan persentase pendidikan keilmuan dan akademik
yakni 50:50. Pendidikan vokasi sebagai langkah konkrit dan strategis
menyongsong RI 4.0 adalah pilihan yang tepat. Namun, di tengah kompleksnya
persoalan yang dihadapi bangsa saat ini, pendidikan vokasi belum bisa dilakukan
secara menyeluruh dan serentak. Sebagai tahap awal, pendidikan vokasi membidik
SMK sebagai prioritas utama karena urgensinya sebagai wadah pendidikan yang
memungkinkannya menjadi shortcut (jalan pintas) untuk percepatan
peningkatan kompetensi tenaga kerja Indonesia yang match dengan dunia
kerja.
Apa Kabar ABK?
Lalu, apa kabar anak berkebutuhan khusus atau ABK yang
juga menjadi bagian tak terpisahkan dari era industri 4.0 nantinya? Pembahasan
tentang ABK terkait RI 4.0 seolah senyap. Padahal, mereka adalah bagian tak
terpisahkan yang kelak akan turut menyongsong RI 4.0.
Berbicara tentang pendidikan vokasi,
pendidikan ABK seyogyanya adalah pendidikan yang vokasional atau khusus. Dengan
keterbatasannya, ABK tidak memungkinkan untuk mempelajari dan menekuni banyak
bidang dan ilmu sekaligus seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu, manakala
sejak dini mereka telah menemukan potensi emasnya, maka ABK biasanya akan
langsung fokus mempelajari dan menekuni itu saja. Dengan bimbingan yang intens,
beberapa ABK bisa menjadi ‘bintang’ di bidangnya yang kadang pencapaiannya bisa
melampaui pencapaian orang-orang normal pada umumnya. ABK semacam ini sering
kita dapati di sejumlah negara maju. Keterbatasan dan kespesialan mereka tidak
menjadi penghalang untuk menjadi bintang dan profesional di bidangnya. Sayangnya,
ABK yang beruntung seperti ini masih segelintir jumlahnya di tanah air kita.
Pendidikan untuk ABK adalah pendidikan yang
spesial. Mereka membutuhkan media, sarana, fasilitas dan partner belajar
yang juga spesial. Dan yang serba spesial ini tentu tidak murah. Hanya
segelintir ABK yang beruntung mendapatkannya. Memiliki orang tua dan lingkungan
yang paham dan menerima, support, dan memfasilitasi kebutuhannya dengan
baik. Tak sedikit dari ABK-ABK yang beruntung ini yang di kemudian hari menjadi
bintang dan profesional dalam bidang yang mereka tekuni sejak dini. Sedang sebagian
besar ABK yang lain masih berjibaku dengan orang tua dan lingkungan yang bahkan
tidak paham bahwa mereka spesial. Sebagian lagi menyikapi keberadaan mereka
dengan apatis dan pesimis, bahwa mereka juga memiliki kesempatan dan berhak
untuk memiliki masa depan yang baik, termasuk di era RI 4.0 dengan
persaingannya yang sangat sengit.
Pendidikan ABK
di Indonesia
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
jumlah ABK di Indonesia mencapai 1,6 juta anak. Bagi para ABK ini, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberikan akses pendidikan formal
melalui Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Inklusi (SI). Setiap tahunnya,
pemerintah umumnya membangun 25-30 unit sekolah baru untuk SLB. Namun untuk
2017 lalu, pengurangan anggaran membuat jumlah unit sekolah baru yang mestinya
dibangun mengalami penurunan yang cukup drastis, yakni hanya menjadi 11 unit
SLB.
Secara keseluruhan, dari 514 kabupaten/kota
di Indonesia, masih terdapat 62 kabupaten/kota yang belum memiliki SLB. Dengan
kondisi ini, dari total 1,6 juta ABK yang ada di tanah air, yang sudah mendapat
layanan pendidikan baru mencapai angka 18 persen. Ada sekitar 82 persen lagi
yang masih belum terlayani. Sebanyak 115 ribu ABK bersekolah di SLB, sedangkan
ABK yang sekolah di sekolah regular pelaksana Sekolah Inklusi berjumlah sekitar
299 ribu. Sebuah tantangan yang sangat besar. Tidak hanya dalam rangka menyongsong
revolusi industri 4.0, namun juga dalam rangka memenuhi hak pendidikan ABK
sebagai bagian tak terpisahkan dari keseluruhan komponen bangsa.
Peran
Strategis Keluarga
Pentingnya pendidikan vokasi formal bagi ABK
disambut baik oleh sejumlah pihak. Menindaklanjuti Gerakan Indonesia Pintar
(GIP) untuk ABK, tahun depan pemerintah berencana membuka jurusan vokasi
yang khusus diperuntukkan bagi ABK. Jurusan vokasi yang dibuka tidak hanya
meliputi musik, yang selama ini banyak digeluti oleh ABK. Namun juga jurusan
lain seperti kelautan, pariwisata dan pertanian, hingga tata boga. Di Bandung,
juga telah berdiri lembaga pendidikan setingkat universitas yang diperuntukkan
untuk ABK. Jurusan yang tersedia memiliki relevansi yang besar dengan tren
bidang pekerjaan yang menjadi favorit di era industri 4.0, seperti komputer,
pemrograman, desain dan sebagainya. Secercah harapan yang membahagiakan bagi
ABK dan keluarganya. Namun, PR kita masih panjang dan banyak. Karena pendidikan
bagi ABK, terlebih pendidikan vokasi, adalah pendidikan yang spesial. Sedang
untuk pendidikan dasarnya saja, banyak ABK kita yang belum bisa mengenyamnya.
Di tengah keterbatasan sarana dan
prasarana pendidikan bagi ABK, juga faktor lain yang menghambat seperti jarak
dan waktu juga kondisi ABK-nya sendiri, maka peran strategis keluarga untuk
menjadi partner, supporter sekaligus fasilitator ABK menjadi kunci utama.
Keluarga menjadi partner pertama dan utama bagi ABK untuk belajar dan
mengembangkan potensinya. Karena keluarga semestinya adalah yang paling
memahami dan memungkinkan untuk mendampingi lebih intens sehingga pendidikan
ABK bisa lebih tepat sasaran dan berkesinambungan.
Menjadikan keluarga sebagai ujung
tombak pendidikan bagi ABK tentu memerlukan sejumlah syarat. Secara emosional
mereka harus siap dan bisa menerima, secara keilmuan dan informasi juga cukup
memadai untuk mendampingi proses belajar ABK. Dalam konteks ini, pembekalan
orang tua ABK menjadi langkah yang strategis dan mendesak untuk segera
direalisasikan. Seminar, pelatihan, dan semacamnya perlu digalakkan bagi orang
tua ABK ataupun anggota masyarakat yang concern pada pendidikan ABK.
Juga perlu adanya pendampingan yang sebisa mungkin menjangkau banyak lapisan
masyarakat, agar dalam tataran praktiknya, orang tua ABK memiliki tempat untuk
bertanya dan mengonsultasikan perkembangan pendidikan ABK-nya.
Bagi orang tua ABK sendiri,
saatnya untuk bersikap lebih terbuka, proaktif dan menjemput bola bagi segala
sesuatu yang terkait dan penting bagi ABK. Membuka hati dan pikiran akan
membuat kita semakin tegar dan optimis. Terlebih jika menemukan komunitas yang
pas dan sehati. Kita tidak akan merasa sendiri, karena ada yang menguatkan, ada
yang memotivasi, juga berbagi ilmu dan informasi.
Begitu besar peran orang tua bagi
pendidikan ABK. Orang tua adalah tumpuan harapan dan partner utama ABK untuk
menyongsong masa depan. Orangtualah pemegang kunci utama pembelajaran yang
optimal bagi ABK. Bila orang tua menutup diri dan bersikap pasif, ABK tidak
bisa berjuang sendiri untuk membekali dirinya. Mereka butuh orang tua sebagai
supporter utama, ABK butuh kita semua. Akhir kata, mari bersinergi untuk
menyiapkan ABK memiliki kesempatan dan kesiapan yang lebih baik untuk
menyongsong masa depan yang juga lebih baik.
* * *
Tulisan telah dimuat di Rubrik Gagasan Koran Jakarta, edisi 25 Juli 2018 dengan judul "Pendidikan dan Revolusi 4.0. Selengkapnya bisa dilihat di Gagasan Ririn Handayani di Koran Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar