![]() |
UPBJJ-UT Jember, sumber foto: di sini |
Beberapa
kali saya pernah terlibat perbincangan serius dengan sejumlah teman dan kerabat
yang merasa gamang untuk melanjutkan studi, khususnya ketika akan melanjutkan
pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Terlepas apa alasan dan kondisi mereka,
bisa mengenyam pendidikan tinggi adalah impian banyak orang. Sayang, tak semua
beruntung bisa meraihnya. Entah karena faktor biaya, waktu, masalah sosial
budaya, bahkan jender. Adanya lembaga dan akses pendidikan yang murah dan mudah
tak ubahnya seperti oase di tengah kegersangan asa dan impian banyak orang saat
ini. Pada mereka yang gamang, atau bahkan apatis dan tidak memiliki minat sama
sekali untuk melanjutkan pendidikan, coba saya motivasi tentang arti pendidikan
tinggi khususnya perguruan tinggi bagi kehidupan seseorang dalam konteks yang
luas.
“Memiliki
pendidikan tinggi memang tidak menjamin kita pasti memiliki pekerjaan yang
mapan di kemudian hari. Tapi dengan pendidikan yang tinggi, kita memiliki
peluang besar untuk meraih asa lebih tinggi, memiliki lebih banyak pilihan,
memiliki cakrawala berpikir yang lebih luas, pikiran kita juga akan lebih terbuka
pada banyak hal….” Demikian beberapa nasihat saya untuk mereka.
“Tidak ada
biayanya Mbak” ini alasan yang paling sering saya dengar. Ya, biaya adalah
salah satu kendala utama bagi banyak orang. Biaya pendidikan saat ini tak bisa
dibilang murah, di tengah meroketnya harga kebutuhan dan biaya hidup lain yang
lebih mendesak. Bisa dibilanng, pendidikan tinggi adalah salah satu ‘kemewahan’
di negeri ini.
“Ada koq
universitas yang biayanya relatif murah” saya mencoba menyemangati, ketika yang
menjadi kendala utama adalah soal biaya. Lalu, saya mengenalkan Universitas
Terbuka atau UT kepada yang bersangkutan. Benarkah biaya kuliah di UT lebih
murah? Kita bahas lebih detil nanti ya…. :)
Di lain
waktu, sebagaimana saya tuliskan sebelumnya, biaya bukanlah satu-satunya
kendala.
“Ingin
membantu orang tua dulu, mereka sudah mulai tua. Lebih baik saya bekerja, supaya
bisa meringankan beban mereka. Supaya adik-adik nanti bisa melanjutkan sekolah
lebih tinggi dari saya” ini alasan lain yang juga sering dikemukakan, yang kemudian
menjadi salah satu alasan utama sebagian mereka untuk memutuskan menjadi Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri. Ah, ada pilihan yang lebih menarik
sepertinya, bagi sebagian masyarakat kita merasa pendidikan seolah bintang di
langit yang sangat tinggi. Kalau ini yang menjadi alasannya, saya sering
speechless.
Kuliah di
Indonesia umumnya membutuhkan waktu sekitar 3-4 tahun. Ini masuk kategori cepat.
Kalau molor, bisa 5 hingga 6 tahun. Semakin lama masa studi, bisa berarti biaya
yang dikeluarkan semakin banyak namun tidak selalu memberi jaminan kerja
setelahnya. Sedangkan jika jadi TKI, beberapa bulan bekerja saja, bisa
mengirimkan sejumlah uang yang jumlahnya bisa cukup signifikan ke kampung
halaman.
Selain
soal biaya dan desakan ekonomi keluarga, soal budaya dan jender juga acapkali
muncul dalam diskusi saya dengan beberapa orang.
“Saya
ingin sekolah lagi Mbak, tapi bapak ibu sudah menjodohkan saya” sekarang memang
bukan jamannya lagi Siti Nurbaya, tapi jodoh menjodohkan tak lama setelah
selesai masa studi SMA bahkan SMP, masih ada di masyarakat kita.
“Lagi
pula, kata ayah ibu, kalau nantinya cuma jadi ibu rumah tangga,lulus SMP juga
cukup, tidak usah repot-repot dan mengeluarkan banyak biaya sekolah sampai
sarjana…..” ah, ingin menangis saya mendengar alasan yang satu ini…..
“Saya
ingin mengajar Mbak. Saya merasa ilmu saya belum cukup, tapi sulit membagi
waktu. Apalagi rumah saya di desa. Belum lagi soal biaya. Gaji saya sabagai
guru honorer di desa sangat kecil” kalau ini ‘curhat’-nya seorang kerabat yang
menjadi guru honorer di desa, dengan berbekal ijasah SMA.
Well,
beberapa kisah di atas hanyalah sebagian realitas masalah pendidikan di
masyarakat kita. Ada masalah yang sangat kompleks yang menjadi kendalanya.
Seperti masalah tingginya biaya pendidikan, desakan ekonomi keluarga, sulit
membagi waktu, jarak, sosial budaya bahkan masalah jender. Harus ada solusi,
tak semata mendengar keluh kesah mereka dan memberi motivasi agar mereka tidak
mudah menyerah. Dan salah satu solusi yang saya kemukakan, adalah melanjutkan
studi ke Universitas Terbuka (UT).
Saya
terbilang cukup gencar memromosikan UT ke sejumlah kerabat dan teman. Saya
tidak bekerja atau menjadi bagian dari UT, bukan juga alumni UT. Tapi saya
melihat UT memiliki sejumlah kelebihan yang bisa menjadi solusi bagi sejumlah problematika
pendidikan di atas. UT terbilang universitas yang murah bagi yang kesulitan
biaya. Metode studi di UT juga sangat nyaman bagi yang kesulitan membagi waktu
atau tempat tinggalnya jauh karena UT menerapkan metode pendidikan jarak jauh
dengan waktu yang fleksibel. UT tidak membatasi usia dan juga jender calon
mahasiswanya sehingga ibu rumah tangga bahkan lansia pun welcome untuk
melanjutkan studi di sana. Hal lain yang menurut saya juga luar biasa sebagai
solusi bagi masyarakat kita adalah UT bisa juga diakses oleh TKI kita yang
tersebar di banyak Negara. Sehingga saat berada di negeri orang, selain bekerja
untuk menabung bagi masa depan yang lebih cerah secara financial juga menopang
ekonomi keluarga di kampung halaman, memperoleh pengalaman berharga selama di
negeri orang, mereka juga bisa mengenyam pendidikan formal di perguruan tinggi.
Sejumlah syarat dan ketentuan tentu berlaku dan akan kita bahas lebih detil di
bagian selanjutnya.
Mengenal
Universitas Terbuka Lebih Dekat
Saya
pertama kali mengenal Universitas Terbuka (UT) tahun 2007. Saat itu, UT di kota
saya, Jember, masih menempati salah satu gedung milik Universitas Jember kalau
tidak salah. Gedung yang terbilang cukup tua dan posisi yang agak masuk dari
jalan raya utama, membuat UT, dalam pandangan saya terlihat agak sedikit kusam
dibanding universitas lain pada umumnya yang terkesan kinclong dan mentereng.
Tata ruang di dalamnya agak kurang rapi. Mungkin karena ruangan yang kurang
memadai untuk menampung aktivitas UT sendiri. Perbedaan lain yang cukup kontras
dari pemandangan khas universitas yang sering saya lihat sebelumnya, mahasiswa
yang berseliweran yang sekilas saya lihat saat itu, umumnya sudah cukup
berumur. Sedang yang biasa saya lihat, biasanya masih muda-muda. Sempat
terbersit di benak saat itu, UT identik dengan mahasiswa yang sudah keriput dan
ubanan. Upsss…..:p
Beberapa
tahun kemudian, UT Jember akhirnya menempati gedung sendiri. Terbilang megah,
dengan posisi yang cukup strategis. Tak perlu masuk ke dalamnya, cukup lihat
sekilas saat berkendara di depannya, langsung terlihat UT yang modis dan lebih
representatif sebagai sebuah universitas.
![]() |
Gedung baru UBPJJ Jember, sumber foto: jember.ut.ac.id |
Saya
pribadi langsung terpukau saat masuk. Tak hanya kondisi yang jauh lebih rapi,
teratur dan nyaman serta fasilitas pendukung yang lebih lengkap, penampakan
mahasiswanya juga mengalami perubahan drastis. Mahasiswa yang berseliweran
untuk berbagai keperluan, sama dengan universitas lain pada umumnya. Terlihat
seperti benar-benar baru lulus SMA dan segera lanjut studi di UT.
Alhamdulillah, ini sebuah indikasi bahwa UT kian menjadi pilihan. Mahasiswa
yang cukup berusia juga beberapa kali saya temui. Alhamdulillah lagi, karena
itu berarti UT masih menjadi solusi. Bisa berarti pula semangat untuk
melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi juga semakin terpatri di
masyarakat kita meski usia tidak muda lagi. Meski sekian kendala yang harus
dihadapi bisa jadi juga semakin kompleks.
Selanjutnya,
mari kita mengenal UT lebih dekat. Universitas Terbuka atau yang populer dengan
sebutan UT adalah Perguruan Tinggi Negeri ke-45 di Indonesia yang diresmikan
pada tanggal 4 September 1984, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 41 Tahun
1984. UT didirikan dengan tujuan yang sangat kontekstual dengan persoalan
bangsa. Yakni : (1) memberikan
kesempatan yang luas bagi warga negara Indonesia dan warga negara asing, di
mana pun tempat tinggalnya, untuk memperoleh pendidikan tinggi; (2) memberikan
layanan pendidikan tinggi bagi mereka, yang karena bekerja atau karena alasan
lain, tidak dapat melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi tatap muka; dan
(3) mengembangkan program pendidikan akademik dan profesional sesuai dengan
kebutuhan nyata pembangunan yang belum banyak dikembangkan oleh perguruan
tinggi lain.
Ada
sejumlah kelebihan UT dari universitas lain pada umumnya. Sejumlah kelebihan
itu antara lain menerapkan sistem
belajar jarak jauh dan terbuka.
Istilah jarak jauh berarti
pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka, melainkan menggunakan media,
baik media cetak (modul) maupun non-cetak (audio/video, komputer/internet,
siaran radio, dan televisi). Sedangkan makna terbuka adalah tidak ada batasan usia, tahun
ijazah, masa belajar, waktu registrasi, dan frekuensi mengikuti ujian. Batasan
yang ada hanyalah bahwa setiap mahasiswa UT harus sudah menamatkan jenjang
pendidikan menengah atas (SMA atau yang sederajat).
Dari segi biaya, biaya kuliah di UT cukup
kompetitif dengan universitas lain. Begitu pula dari segi pilihan jurusan.
Selain sejumlah jurusan yang memang umum ada di kebanyakan universitas seperti
FKIP dan FISIP, UT memiliki sejumlah jurusan lain yang terbilang langka namun
tingkat kebutuhannya di dunia kerja cukup besar yakni Kearsipan dan
Perpustakaan. Hingga saat ini, UT memiliki empat fakultas
dan satu program pascasarjana yang menawarkan lebih dari 30 program studi
dengan jenjang yang bervariasi meliputi: Program Magister, Program Sarjana/S1
(FKIP, FMIPA, FEKON, FISIP), Program Diploma dan Sertifikat.
Popularitas UT semakin bersinar karena
sejumlah kelebihannya sebagaimana telah kita bahas sebagian di antaranya pada
sejumlah poin di atas. Meski demikian, banyak masyarakat yang belum tahu
sejumlah pencapaian dan fakta tentang UT, yang menurut saya sangat luar biasa.
Pertama,
UT adalah universitas negeri. Banyak masyarakat masih bingung dengan status UT
yang dianggap kurang jelas. Negeri apa swasta ya? Hal yang satu ini perlu
semakin disosialisasikan secara lebih luas pada masyarakat terutama generasi
muda. Dengan status sebagai Perguruan Tinggi Negeri (PTN), masyarakat tidak
perlu cemas soal legalitas perkuliahan dan ijasah serta gelarnya.
Kedua,
jumlah mahasiswa UT sangat banyak. Hingga pertengahan tahun 2014, mahasiswa
aktif UT tercatat sebesar 433.763. Sementara itu, hingga awal
tahun 2014, jumlah mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia baik PTN
maupun PTS diperkirakan sebesar 3,2 juta. Di mana sebanyak 72 % di antaranya
ditampung di perguruan tinggi swasta, dan sisanya di perguruan tinggi negeri.
Dengan jumlah mahasiswa yang sangat banyak ini, UT tergolong dalam The Top
Ten Mega University of the World dan salah satu anggota sekaligus pendiri The
Global Mega-University Network (GMUNET). GMUNET yang didirikan pada tahun 2003
lalu merupakan jaringan universitas terbuka seluruh dunia dengan jumlah
mahasiswa yang terdaftar lebih dari 100 ribu orang.
Ketiga,
prestasi yang mendunia. Tidak hanya luar biasa dari sejumlah mahasiswa, UT juga
menorehkan sejumlah prestasi yang membanggakan. Di antaranya, berdasarkan
pemeringkatan yang dilakukan oleh Webometrics, sebuah situs yang melakukan
pemeringkatan universitas-universitas di seluruh dunia berdasarkan parameter
digital (konten global yang terindeks oleh Google, jumlah rich file yang
terindeks di Google Scholar dan karya akademik yang terpublikasi di jurnal
internasional) pada Januari 2013 lalu, UT berada di peringkat ke-64 universitas
terbaik di Indonesia dan peringkat 3544 untuk dunia.
Benarkah
Kuliah di UT Murah?
Kuliah di
UT (relatif) murah adalah promosi utama yang sering saya sampaikan pada banyak
orang. Benarkah? Tidak benar-benar murah sebenarnya, terlebih jika dilihat dari
sudut pandang dan kantong masyarakat bawah, tapi insyaAllah cukup terjangkau.
Apalagi jika si mahasiswa bisa mendapatkan beasiswa mengingat beasiswa di UT
juga semakin banyak sebagaimana universitas lain pada umumnya.
Secara
umum, biaya pendidikan di UT dihitung berdasarkan jumlah SKS yang diambil
ditambah sejumlah biaya lain bergantung jurusan yang diambil. Kita ambil contoh
untuk program studi Matematika, Fakultas Matematika dan IPA, untuk Non SIPAS
(Non Sistem Paket Semester). Berikut rincian biayanya:
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN ALAM
|
|||
Program Studi Matematika
|
|||
a)
|
Uang Kuliah
|
Rp36.000,00/ sks
|
OSMB, layanan administrasi akademik,
transkrip sementara, alih kredit, bahan ajar digital pada ruang baca virtual,
Tuton, UAS, TAP, publikasi karya ilmiah, wisuda/ UPI/ PI
|
b)
|
Registrasi Ujian Ulang/ TAP Ulang
|
Rp36.000,00/ sks
|
|
c)
|
Registrasi Karil
|
Rp200.000,00/ semester
|
Bagi mahasiswa yang meregistrasi
karil karena mengulang TAP
|
Untuk
rincian biaya yang lebih detil berdasarkan jurusan dan wilayah (dalam atau luar
negeri) bisa dilihat di link berikut http://www.ut.ac.id/2015/tentang-ut/sistem-registrasi/biaya.html.
UT, Mudah
Dijangkau dan Terintegrasi
Setelah
sebelumnya dibahas mengenai keterjangkauan UT dari sisi biaya, dari segi lokasi
UT juga mudah dijangkau hingga ke daerah karena memiliki banyak cabang tak
hanya di dalam negeri, namun juga di sejumlah negara. Khusus untuk wilayah
Indonesia, UPBJJ-UT umumnya ada di ibukota provinsi dan sejumlah
kotamadya/kabupaten. Lebih lengkap mengenai daftar
kode, nama dan alamat Kantor UPBJJ-UT (Unit Program Belajar Jarak Jauh
Universitas Terbuka) di Seluruh Indonesia bisa dilihat di sini.
Adapun
maksud terintegrasi di sini, UT memungkinkan mahasiswanya untuk pindah dari
satu UPBJJ ke UPBJJ lain, baik dalam maupun luar negeri jika karena satu dan
lain hal, mahasiswa harus berpindah domisili.
UT,
Universitas Ramah Perempuan
Poin ini menurut saya sangat istimewa mengingat pendidikan bagi
banyak perempuan di Negara berkembang seperti kita seperti rembulan bagi si
pungguk.
Pendidikan bagi
perempuan acapkali dianggap tidak penting karena masyarakat umum kita masih
berpandangan bahwa ‘rugi’ jika sekolah tinggi-tinggi akhirnya hanya kerja di
dapur alias jadi ibu rumah tangga. Daripada menghabiskan banyak biaya dan juga
waktu, lebih baik segera menikah dan uang yang ada dimanfaatkan untuk modal
usaha.
Masih bagi perempuan, menikah juga seringkali
menguburkan impian kaum hawa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih
tinggi. Menikah berarti banyak di rumah mengurus keluarga. Tak banyak waktu,
energi dan biaya yang tersisa untuk melanjutkan pendidikan. Hadirnya UT memberi
secercah harapan bagi masyarakat untuk kembali menggapai mimpi dan
cita-citanya. UT yang mudah dan murah, tersebar di banyak wilayah Indonesia
bahkan mancanegara, membuat simpul-simpul yang selama ini menutup akses
masyarakat khususnya perempuan terhadap perguruan tinggi satu per satu mulai
terurai.
Antusiasme
perempuan untuk melanjutkan studi di UT, di antaranya bisa dilihat dari cukup
dominannya komposisi jumlah mahasiswi dibanding dengan jumlah mahasiswa, yang
lebih dari dua kali lipat jumlah laki-laki, yakni sebesar 298.436 mahasiswa
pada tahun 2014. Jumlah ini tidak hanya menggembirakan dari segi angka, namun
memiliki banyak arti lain di baliknya. Di antaranya, meningkatnya partisipasi
pendidikan perempuan di tingkat perguruan tinggi. Salah satu persoalan klasik
dalam dunia pendidikan kita terutama jika dikaitkan dengan peran perempuan
dalam pembangunan. Tingkat pendidikan perempuan yang semakin baik diharapkan
berbanding lurus dengan kontribusi mereka terhadap pembangunan.
UT,
Universitas yang Pro TKI
Hadirnya UT juga menjadi secercah harapan bagi
tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ingin meraih masa depan lebih baik. UT bisa
dibilang adalah satu-satunya perguruan tinggi dalam negeri yang memberi
kesempatan pada TKI untuk bekerja di luar negeri sembari mengenyam pendidikan
di perguruan tinggi. Sehingga dengan demikian, TKI tak ubahnya seperti sembari
menyelam minum air.
Tinggal di luar negeri memungkinkan TKI
memperoleh banyak pengalaman dan keterampilan baru seperti penguasaan bahasa
asing. Bila kemampuan ini ditunjang dengan pendidikan tinggi hingga meraih gelar
sarjana dan skill tambahan, pilihan untuk meniti masa depan yang lebih baik
sekembalinya ke Tanah Air kian terbuka lebar. Kesadaran TKI yang semakin tinggi
akan pentingnya pendidikan tinggi terlihat dari meningkatnya jumlah TKI yang
melanjutkan pendidikan di UT.
Berdasarkan data per 2 Juni 2014, tercatat ada
2.266 orang yang menempuh pendidikan di UT di sejumlah negara seperti Arab
Saudi, Malaysia, Korea Selatan, Singapura, Taiwan, bahkan ada pula yang di
Amerika Serikat, Australia dan sejumlah negara di Eropa dan Afrika. Meski tidak
seluruhnya adalah TKI, namun proporsi TKI yang melanjutkan pendidikan tinggi
melalui UT semakin banyak dari waktu waktu. Percepatan ini akan semakin
signifikan jika pemerintah semakin membuka akses TKI untuk kuliah lagi, salah
satunya dengan memasukkan item bisa melanjutkan pendidikan ke dalam poin
perjanjian dengan negara-negara yang memperkerjakan TKI kita.
Penutup
Persoalan
pendidikan kita memang sangat kompleks. Mulai soal biaya, waktu, jarak, sosial budaya
hingga jender. UT hadir sebagai bagian dari solusi bagi anak negeri. Akhir kata, semoga tulisan ini informatif
dan bermanfaat.
* * *
“Tulisan ini dibuat untuk mengikuti lomba blog dari Universitas Terbuka dalam rangka memperingati HUT Universitas Terbuka ke-32. Tulisan adalah karya saya sendiri dan bukan jiplakan.”
![]() |
HUT Universitas Terbuka Ke-32 |
![]() |
www.ut.ac.id |
Memang UT adalah Universitas sejuta umat ya mbak..gak ada batasan usia untuk kuliah disitu...ngomong2 apa khabar jember? dulu saya ngekost di jalan jawa trus pindah ke karimata :)
BalasHapusIstilah 'universitas sejuta umat'-nya keren :)
HapusJember sudah banyak perubahan, beberapa di antaranya saya tuliskan di blog ini juga, silahkan lihat-lihat :)
btw, saya juga dulu pernah kost di jalan Jawa juga. Salam kenal, alumni Unej jugakah?