![]() |
Sasha, si sulung, dalam balutan busana Minangkabau :) |
Hanya berbeda satu generasi, tapi saya merasakan perbedaan yang sangat signifikan antara kehidupan saya dan putri-putri saya dalam mengenal Indonesia.
Saat saya kecil, ada begitu banyak mainan
tradisional dan kearifan lokal masyarakat yang saya kenal. Saya juga mudah
menemukan rumah-rumah tradisional di sejumlah daerah yang pernah saya tinggali
saat kecil, terutama di Pulau Jawa bagian timur dan Sumatera bagian selatan.
Hampir setiap hari pula saya bisa menyantap makanan dan camilan tradisional,
terutama yang berbahan singkong seperti getuk dan geblek (makanan tradisional yang terbuat dari tepung kanji atau singkong).
![]() |
Penampakan Geblek, sumber foto www.magelangonline.com |
Tapi, seperempat abad kemudian, saat anak-anak
saya seusia saya dulu, banyak mainan tradisional dan kekayaan nusantara lainnya
yang seolah hilang. Sebagai gantinya, anak-anak lebih akrab dengan gadget
daripada memainkan sejumlah permainan tradisional bersama teman-temannya
seperti saat saya kecil dulu. Anak-anak juga kerap tidak tertarik dan merasa
asing dengan makanan-makanan tradisional Indonesia. Sebaliknya, sebagaimana
anak Indonesia pada umumnya, anak-anak saya juga sangat menggandrungi sejumlah makanan
cepat saji.
Hal lain yang cukup mengkhawatirkan adalah
anak-anak sepertinya tak begitu mengenal Tanah Airnya. Banyak rumah-rumah
tradisional yang punah, entah karena faktor usia, mahalnya perawatan atau
karena tergusur lalu menjelma menjadi perumahan, pusat perbelanjaan, pusat
perkantoran dan sebagainya. Semakin banyak pula kearifan lokal masyarakat yang
punah seiring dengan terinternalisasinya nilai-nilai globalisasi yang tak
selalu seiring dengan nilai dan budaya kita, seperti gotong royong yang
tergantikan oleh individualisme. Sikap hidup sederhana juga mulai terkikis
menjadi konsumerisme. Belum lagi konflik dan kekerasan baik vertikal maupun
horizontal yang marak terjadi akhir-akhir ini membuat anak-anak dan generasi
muda seakan semakin enggan untuk mengenal Indonesia-nya lebih jauh.
Ya, anak-anak dan generasi muda saat ini memang
menghadapi tantangan dan krisis nasionalisme yang sangat kompleks dibanding
ayah dan ibu mereka. Dulu, nuansa ke-Indonesiaan kita dalam banyak aspek (kearifan
lokal, tradisi, seni dan budaya) masih seperti udara yang bisa kita hirup
hampir setiap waktu. Juga seperti hamparan awan yang mudah kita lihat sejauh
mata memandang. Arus globalisasi juga tak sehebat sekarang. Tapi kini, nuansa
ke-Indoensiaan kita justru menjadi sesuatu yang sangat langka. Sebaliknya, nilai-nilai
globalisasi bahkan menjadi ‘konsumsi’ setiap waktu, bahkan hampir di semua
tempat. Apalagi, nilai-nilai globalisasi acapkali dikemas sedemikian menarik
dan kreatifnya sehingga dengan mudah terinternalisasi dalam benak anak-anak dan
generasi muda kita dan nyaris tak menyisakan tempat bagi yang namanya
nasionalisme. Sangat memprihatinkan.
TMII, Sebuah Pusaka bagi Anak Negeri
Waktu akan terus berjalan. Tanpa usaha dan upaya
yang optimal, ke-Indonesiaan kita akan semakin terkikis hingga tak menyisakan
sedikitpun warisan dan kenangan bagi anak cucu kita. Padahal, kekayaan
Nusantara dalam banyak aspeknya seharusnya menjadi warisan yang sangat berharga
dan membanggakan bagi anak negeri. Dalam kondisi kritis dan genting ini,
sejumlah ‘pusaka’ memungkinkan kita tetap bisa menjaga kelestarian budaya
bangsa sekaligus mewariskannya pada anak cucu kita sebagai salah satu modal
besar untuk menjadi negara yang besar di kemudian hari. Salah satunya melalui
Taman Mini Indonesia Indah atau yang sering disebut masyarakat dengan TMII.
![]() |
Pintu Masuk TMII, sumber foto www.tempatwisataid.com |
Terdapat sejumlah alasan mengapa TMII layak
sekaligus memiliki peran sangat strategis untuk menjadi salah satu ‘pusaka’
bagi anak negeri. Pertama, sesuai
dengan namanya, Taman Mini Indonesia Indah, TMII merupakan sebuah miniatur
Indonesia yang memudahkan kita untuk melihat Indonesia secara lebih menyeluruh,
sehingga bisa muncul kesadaran dalam benak kita betapa sangat kaya, luas dan
beragamnya Indonesia. Ini sejalan dengan pepatah, tak kenal maka tak sayang.
Bagaimana kita akan tahu Indonesia sangat kaya, luas dan beragam kekayaan alam serta budayanya jika orang Jawa hanya mengenal Jawa, orang Sumatera hanya mengenal Sumatera, begitu pula dengan orang Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dibutuhkan biaya, energi dan waktu yang sangat besar jika ingin melihat Indonesia secara keseluruhan. Untungnya kita punya TMII, sebuah miniatur Indonesia yang memungkinkan kita seolah melihat Indonesia secara keseluruhan. Tempat di mana kita akan melihat bagaimana Indonesia yang sangat beragam mampu bersatu menjadi satu dengan rukun dan damai.
Bagaimana kita akan tahu Indonesia sangat kaya, luas dan beragam kekayaan alam serta budayanya jika orang Jawa hanya mengenal Jawa, orang Sumatera hanya mengenal Sumatera, begitu pula dengan orang Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Dibutuhkan biaya, energi dan waktu yang sangat besar jika ingin melihat Indonesia secara keseluruhan. Untungnya kita punya TMII, sebuah miniatur Indonesia yang memungkinkan kita seolah melihat Indonesia secara keseluruhan. Tempat di mana kita akan melihat bagaimana Indonesia yang sangat beragam mampu bersatu menjadi satu dengan rukun dan damai.
Kedua,
TMII merupakan museum budaya, di mana di dalamnya kita bisa melihat sejumlah
kebudayaan Indonesia dalam berbagai bentuk yang di daerah asalnya mungkin sudah
sulit ditemui bahkan mungkin sudah punah. Ketiga,
TMII tidak hanya memiliki peran strategis dalam konteks pelestarian budaya namun juga
dalam hal toleransi dan kerukunan umat baik dalam konteks beragama maupun suku
bangsa. Toleransi dan kerukunan menjadi salah satu masalah krusial yang perlu
ditanamkan pada sanubari generasi muda mengingat meningkatnya eskalasi konflik
dan perpecahan di Tanah Air dalam beberapa waktu terakhir.
Keempat,
selain ketiga hal di atas, keberadaan TMII juga penting sebagai aset negara
sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden RI NO.51 Tahun 1977. Sebagai
aset, maka keberadaan TMII bisa menjadi salah satu ‘warisan’ bagi anak negeri
yang kehadirannya akan mengingatkan sekaligus mendorong munculnya rasa bangga
dan memiliki akan kekayaan negeri yang sangat berlimpah.
Lalu yang kelima,
dalam perkembangannya TMII juga tidak hanya berkutat dalam hal pelestarian seni
dan budaya, namun juga satwa mengingat satwa Indonesia merupakan salah satu
yang terbaik dan terbanyak di dunia di mana sebagian di antaranya telah berada
di ambang kepunahan. Sejumlah multifungsi ini membuat peran dan kehadiran TMII semakin
strategis.
TMII,
Destinasi Wisata Edukasi Keluarga Indonesia
Saat membahas TMII, biasanya pikiran pertama kita
mungkin langsung tertuju pada wisata. Yup, tak salah. TMII saat ini memang
telah menjadi salah satu destinasi utama banyak keluarga Indonesia bahkan
mancanegara dengan sejumlah unggulan yang tidak selalu dimiliki oleh tempat-tempat
wisata ternama baik dalam maupun luar negeri. Salah satu keunggulan TMII adalah
menyajikan wisata edukasi berbasis kebudayaan Nusantara yang dikemas secara
apik dan modern. Sehingga di TMII, pengunjung tidak hanya bersenang-senang (fun), tapi juga belajar (learn) sekaligus mengenal keragaman dan
kekayaan budaya Nusantara yang sangat luar biasa. Sebuah cara yang efektif
sekaligus menyenangkan untuk memperkenalkan Indonesia pada anak-anak dan
generasi muda termasuk wisatawan mancanegara.
Keunggulan lain TMII selain sebagai wahana
rekreasi edukasi sarat nilai budaya bangsa, fasilitas di TMII juga terbilang lengkap
dan modern dengan harga yang cukup terjangkau bagi banyak kalangan. Sejumlah
keunggulan ini membuat TMII masuk dalam daftar destinasi utama tujuan wisata
kami yang kebetulan hingga saat ini belum berkesempatan berkunjung ke TMII. Cerita
seru teman-teman ataupun hasil browsing di internet membuat kami semakin
penasaran saja untuk segera berkunjung ke sana. Dan salah satu objek utama yang
sangat ingin kami lihat saat ke TMII nanti adalah anjungan 33 provinsi.
Berdasarkan informasi yang kami dapat dari
berbagai sumber, tiap anjungan menampilkan rumah adat bercorak
arsitektur tradisional berikut penyajian benda-benda budaya, pentas seni,
upacara adat, keragaman kuliner, dan berbagai seluk beluk yang berkait dengan
daerah bersangkutan. Namanya saja sudah membuat kami sangat penasaran
dan kagum.
Sangat luar biasa rasanya membayangkan bisa
melihat 33 provinsi di Indonesia dalam sekali kunjungan. Sehingga anak-anak
tahu bahwa Indonesia bukan hanya daerah tempat kami tinggal saja. Juga bukan
hanya Pulau Jawa. Tapi dari Sabang sampai Merauke dengan beraneka macam budaya
dan tradisi di dalamnya. Sebuah pengalaman yang akan membuka cakrawala dan
wawasan kebangsaan anak-anak, sekaligus rasa cinta, bangga dan memiliki
terhadap kekayaan budaya negeri sendiri.
Tentu saja kami tak hanya ingin mengunjungi anjungan
provinsi saat mengunjungi TMII nanti. Karena selain anjungan provinsi, banyak
objek lain yang sangat sayang untuk dilewatkan. Salah satunya adalah museum. Tempat
di mana anak-anak bisa melihat
koleksi sejarah, budaya, serta teknologi masa lalu dan masa kini yang
sekaligus bisa menjadi tonggak
penciptaan di masa depan. Objek wisata dan permainan lainnya tentu tak
ingin kami lewatkan. Apalagi, di TMII juga sering diadakan acara atau pagelaran seni dan budaya yang membuat kami semakin antusias untuk segera berkunjung ke sana. Semoga segera terwujud :)
![]() |
Salah satu objek wisata di TMII yang pasti sangat diminati anak-anak :) Foto dari www.tempatwisataid.com |
Harapan
bagi TMII di Usianya yang Ke-39
TMII baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-39 pada 20 April 2014 lalu dengan tema Indonesia Satoe. Sebuah tema yang menegaskan arti penting TMII
bagi kondisi kekinian Indonesia. Bahwa betapapun perbedaan kita semakin
beragam, kita tetap Indonesia yang satu.
Meski belum pernah ke sana, sebagai bagian dari warga negara yang turut bangga dengan kehadirannya, saya memiliki sejumlah harapan besar bagi TMII. Di antaranya, semoga dengan usia yang semakin matang, TMII semakin siap mengemban
amanah besar mengawal nasionalisme bangsa yang semakin kritis terutama di
kalangan anak-anak dan generasi muda. TMII yang terus berbenah kita harapkan juga
mampu menjadi ikon kebanggaan negeri di era global dan pasar bebas saat ini.
Usia 39 juga merupakan usia yang tepat bagi TMII
untuk melahirkan ‘TMII-TMII baru’ di tingkat provinsi sebagai miniatur daerah
yang menyangga kebudayaan nasional. Sehingga nantinya akan terbentuk jaring laba-laba
pelestarian budaya melalui wahana wisata edukasi dengan TMII sebagai role model-nya. Munculnya replika TMII
di banyak daerah nantinya bisa menjadi semacam laboratorium sekaligus museum
budaya daerah yang bisa memudahkan masyarakat setempat untuk lebih mengenal
daerahnya sendiri dan sejumlah daerah di sekitarnya. Ini sangat penting
mengingat banyak daerah telah kehilangan aset budayanya tanpa memiliki upaya
yang konkrit untuk mengantisipasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar