![]() |
Tempat penulis berdiri mengambil foto ini dulunya adalah perut sebuah gumuk atau bukit :( |
Kerusakan lingkungan di Tanah Air telah memasuki kondisi yang sangat mengkhawatirkan bahkan bisa menjadi ancaman sangat serius bagi keberlangsungan hidup manusia di masa mendatang. Salah satu contoh teraktual adalah masalah kabut asap di Riau sebagai akibat dari kebakaran hutan yang terus berlangsung. Kabut asap telah menimbulkan sejumlah kerugian yang sangat signifikan tak hanya bagi masyarakat Riau namun juga sejumlah daerah bahkan negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Aktivitas ekonomi masyarakat terganggu dan menimbulkan masalah yang tak kalah mengkhawatirkan dalam hal kesehatan. Ini baru sejumlah dampak langsung, belum lagi dampak tidak langsung yang mungkin baru beberapa tahun kemudian dirasakan oleh masyarakat.
Gumuk yang Nyaris Jadi Kenangan
Sebagai salah satu daerah di
Indonesia bahkan dunia yang memiliki bentangan alam berupa ribuan gumuk,
Kabupaten Jember pernah mendapat predikat sebagai Kota Seribu Gumuk. Kebetulan,
Jember adalah kota di mana penulis tinggal hampir dalam dua windu terakhir
sehingga penulis masih sempat melihat bagaimana gumuk-gumuk besar di
tengah-tengah kota bisa hilang dan rata dengan tanah kemudian berganti dengan
area perumahan atau lahan pertanian. Inilah yang membuat predikat sebagai Kota
Seribu Gumuk tak lagi sering disebut bahkan menjadi sebuah ironi.
Pada era 1990-an awal, jumlah
gumuk di Jember diperkirakan berjumlah sekitar 1500. Jumlah ini menurun drastis
hingga lebih dari separuhnya pada tahun 2005. Satu per satu gumuk hilang. Isi
perutnya dikuras hingga nyaris tak tersisa lalu area gumuk menjelma menjadi
area perumahan atau pertanian. Eksploitasi terhadap gumuk terus berlangsung
hingga sekarang. Predikat sebagai Kota Seribu Gumuk bagi Jember tinggal
menunggu waktu untuk hanya menjadi kenangan bagi generasi muda di masa mendatang.
Hilangnya gumuk yang dulu ribuan
jumlahnya jelas memberi dampak sangat nyata terhadap perubahan iklim di Kota
Jember dan sekitarnya. Jember yang dulu dikenal sebagai kota yang sejuk, kini
terasa semakin panas. Banjir dan kekeringan juga kerap melanda. Bahkan puting
beliung yang dulu dikenal sebagai bencana langka kini semakin tinggi
intensitasnya dari waktu ke waktu. Sejumlah keseimbangan alam terganggu seiring
dengan punahnya banyak gumuk.
Gumuk yang umumnya dipenuhi
pepohonan dulunya adalah paru-paru kota. Ia juga berfungsi sebagai galon air
raksasa yang menyerap banyak air di kala musim hujan dan menjadi cadangan air
bersih masyarakat ketika musim kemarau. Gumuk juga memiliki peran signifikan
sebagai pemecah angin yang alami. Bahkan di sejumlah daerah yang berdekatan
dengan pantai, gumuk juga berfungsi sebagai penahan tsunami. Kini, ketika
jumlah gumuk terus berkurang bahkan nyaris punah, kran bencana seperti terbuka
di mana-mana terutama bagi masyarakat Jember dan sekitarnya. Hal serupa konon juga
terjadi di Tasikmalaya.
Ada banyak faktor yang
menyebabkan gumuk nyaris hilang dari permukaan bumi khususnya di Kabupaten
Jember. Salah satunya adalah karena faktor kepemilikan di mana sebagian besar
gumuk dimiliki oleh perorangan. Dengan kepemilikan pribadi ini, maka gumuk
dapat diperjualbelikan kepada pihak lain terutama kalangan investor baik yang
bergerak di bidang perumahan, material bahan bangunan maupun pertambangan.
Kondisi ini kian diperparah oleh belum adanya regulasi yang secara khusus
melindungi keberadaan gumuk dan peran strategisnya terutama terhadap perubahan
iklim. Kurangnya pengetahuan masyarakat dan desakan ekonomi membuat sejumlah
masyarakat tradisional turut ambil bagian dalam kepunahan gumuk.
![]() |
Salah satu bentuk eksploitasi gumuk, sumber foto berniaga.com |
Gerakan #SaveGumuk
Gumuk yang terus berkurang bahkan
nyaris hilang, menggerakkan hati nurani sejumlah orang muda di Kabupaten Jember
untuk melakukan sejumlah langkah nyata guna menyelamatkan gumuk dari kepunahan.
Gerakan yang dipioniri oleh sejumlah mahasiswa dan aktivis lingkungan ini salah
satunya menggagas ide #savegumuk. Ide ini disebarluaskan melalui jejaring
sosial dan ditindaklanjuti dalam sejumlah langkah nyata seperti melalui
seminar, sosialisasi langsung kepada masyarakat pekerja di gumuk hingga
pengumpulan koin untuk membeli gumuk agar tidak jatuh ke tangan investor.
Sumber Foto savegumuk.blogspot.com |
Ada dua poin utama yang ingin dicapai dalam gerakan #savegumuk. Pertama, sosialisasi tentang fungsi dan peranan gumuk di Jember yang ternyata masih banyak masyarakat yang belum mengetahuinya bahkan masyarakat Jember sendiri. Sosialisasi tidak hanya dalam konteks lingkungan namun juga ekonomi, sejarah, termasuk juga kelangkaan gumuk di Jember sebagai salah satu eksotisme alam yang sangat langka di dunia. Adapun untuk poin kedua yang ingin dicapai adalah membeli gumuk secara kolektif dengan tujuan mengubah hak kepemilikan pribadi menjadi kepemilikan bersama. Mengenai gerakan #savegumuk lebih lanjut bisa dilihat di sini
Untuk gerakan #savegumuk di media
jejaring sosial, sejumlah terobosan yang dilakukan antara lain menyosialisasikan
masalah gumuk melalui sejumlah media seperti facebook, twitter, blog, citizen
journalism dan sebagainya. Sarana yang murah dan mudah didapat ini ternyata
memiliki manfaat dan jangkauan yang sangat luar biasa. Sebagai contoh, jika
kita ketik kata kunci gumuk saat ini, maka dengan cepat mesin pencari otomatis
akan menampilkan banyak artikel dan foto yang terkait. Sesuatu yang sebelumnya
masih terbilang sedikit bahkan susah didapat sebelum gerakan #savegumuk
digulirkan. Jejaring sosial di dunia maya telah membuat isu yang selama ini
terpendam menjadi lebih terekspos ke publik. Sesuatu yang bisa membuat masyarakat
bisa menjadi lebih teredukasi, mengunggah kesadaran untuk lebih peduli, bahkan
bisa menjadi bargaining position bagi
pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih serius.
Apa yang dilakukan oleh sejumlah
kalangan muda di kota Jember untuk secara nyata ambil bagian dalam penyelamatan
gumuk dari kepunahan merupakan sebuah ide sekaligus gerakan yang perlu
disebarluaskan pada masyarakat terutama kalangan muda di Tanah Air mengingat
kerusakan lingkungan telah terjadi hampir di semua wilayah Indonesia. Apa yang
mereka lakukan juga merupakan sebuah asa di tengah kemajuan teknologi informasi
yang sangat pesat saat ini di mana banyak generasi muda kita yang terlena pada
aktivitas yang hanya berorientasi pada kesenangan, nyatanya sebagian yang lain
justru memanfaatkannya sebagai sarana dan media untuk mendongkrak sesuatu yang
bernilai sangat positif seperti menyosialisasikan masalah gumuk kepada
masyarakat luas bahkan dunia.
Gerakan #savegumuk juga
membuktikan bahwa upaya menyelamatkan lingkungan bisa dilakukan dengan mudah
dan murah. Siapapun bisa melakukannya, tidak hanya kalangan aktivis dan
mahasiswa, namun juga blogger bahkan ibu rumah tangga :) Semakin banyak masyarakat
yang peduli dan ikut andil, maka upaya penyelamatan lingkungan, termasuk gumuk,
akan lebih terakselerasi. Partisipasi masyarakat yang luas semacam ini
merupakan salah satu pilar utama untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan
yang lebih parah. Kita tak bisa berdiam diri menyerahkan seluruh persoalan
lingkungan hanya pada pemerintah atau organisasi yang concern terhadap lingkungan seperti World Wildlife Fund atau WWF.
Akhir kata, menyelamatkan lingkungan
khususnya gumuk memang tidak cukup hanya mengandalkan media jejaring sosial (facebook,
twitter, blog, citizen Journalism dan sebagainya) namun jejaring sosial ini
bisa menjadi starting point bahkan trigger bagi gerakan yang lebih besar
lagi. Sesuatu yang harus kita lakukan saat ini juga karena bumi yang sedang ‘sakit’
tak bisa menunggu lebih lama lagi.
wah mantap tulisannya mbak..saya bisa merasakan ada semangat yang megiringi disetiap kata yang terbentuk...ayo kita #save gumuk .... sukses lombanya mbak :)
BalasHapusKomentarnya puitis sekali Mbak Helni, terimakasih atas kunjungan dan doanya.... :)
HapusSave Gumuk,,baru tau mbak, ternyata fungsi gumuk banyak. Keren tulisannya,,,
BalasHapusBanyak fungsi gumuk yang belum saya tulis sebenarnya Mbak, terimakasih :)
HapusBukit di Bandar Lampung juga banyak rusak Mbak. Salah satunya di belakang sekolah saya. Dibelah! Lalu dijadikan perumahan. Di puncak yang masih tersisa ada rumah seorang pengusaha wanita yang pernah jadi pembicaraan karena selnya di penjara sangat mewah. Sedihnya pas sempat ada banjir di sini, wakil walikota saat itu malah menyalahkan warga. Okelah banyak yang buang sampah sembarangan, tapi beliau cuek saja dengan komentar WALHI soal bukit2 yang rusak.
BalasHapusMbak Heni dari Balam ya? Salam kenal, saya dulu menghabiskan masa SD-SMA di Lampung :)
HapusKalau saya perhatikan kondisi Balam sepertinya lebih parah dari Jember Mbak, mungkin karena kotanya lebih besar sehingga dampak pembangunan terhadap lingkungan juga lebih besar. Eh ya, dulu kayaknya masih banyak bukit ya di Balam, terakhir pulang koq sepertinya gak lihat lagi :(