![]() |
Penampakan di Majalah Parenting Edisi September 2013 |
Seiring
dengan usia anak-anak yang semakin besar, maka konsep liburan yang coba saya
terapkan dalam keluarga tak lagi semata just for fun. Lebih dari itu, ada
misi besar lainnya yang saya selipkan dalam liburan keluarga. Salah satunya, mengajak
anak-anak mengenal wajah lain Indonesia selain Pulau Jawa. Tak hanya dari sisi
fisik namun juga dari aspek sosial masyarakatnya. Berbekal misi inilah, maka
kami sepakat untuk menghabiskan liburan panjang kemarin di Lampung, tempat di
mana saya menghabiskan masa kecil hingga remaja.
Meski telah beberapa kali ke sana, saya tetap merasa perlu
"membekali" anak-anak dengan sejumlah pesan agar mereka tidak terlalu
shock dengan segala perbedaan dan mungkin sejumlah keterbatasan sarana
dan prasarana yang akan kami temui nanti. Apalagi, liburan kali ini lebih lama
dan kami konsep ala backpacker.
“Di sana orang-orangnya suka berbicara dengan suara yang keras.
Jangan mengira mereka sedang marah ya?” pesan saya pada Sasha. Pesan ini perlu
disampaikan karena selama ini anak-anak terbiasa berbicara dan mendengar suara
yang pelan. Sementara untuk Naura yang masih berumur 4,5 tahun, pesan saya
lebih sederhana.
“Adek Nau nanti jangan rewel ya, apalagi baru sampai sudah minta
pulang. Jember itu jauh lho Nak” hehehe.
Karena Sasha sangat tertarik dengan nama-nama kota dan ciri
khasnya, maka kami sepakat untuk berangkat ke Lampung dengan menggunakan bus.
Dengan moda transportasi ini, kami akan menyusuri hampir semua propinsi di
Pulau Jawa. Beruntung ada bus langsung Jember-Lampung, sehingga kami tidak
perlu berganti kendaraan di jalan. Untuk pulang kami memilih transportasi udara
agar anak-anak tidak terlalu lelah.
Di luar dugaan, bus yang kami tumpangi beberapa kali terjebak
macet di sejumlah ruas jalan Pantura yang sedang mengalami perbaikan menjelang
liburan dan lebaran. Tak tanggung-tanggung, dari normal perjalanan hanya
sekitar 30 jam, membengkak menjadi hampir 48 jam atau dua hari dua malam. Untung
anak-anak tetap enjoy. Sesekali mereka menggambar dan menikmati aneka bekal
yang sudah disiapkan dari rumah. Beragam pertanyaanpun kerap mereka lontarkan.
“Ma, biasanya lambang kota dibuat berdasarkan apa?” tanya Sasha
suatu kali.
“Lambang kota bisa menggambarkan mata pencaharian sebagian besar
penduduknya” jawab saya.
“Oh, kalau lambangnya pak tani dan hasil tani, berarti
masyarakatnya banyak yang jadi petani ya Ma?” tanyanya kemudian. Saya
mengangguk. Dengan berbagai kegiatan ini, membaca, menggambar, tanya jawab dan
makan-makan, macet terasa tidak terlalu menyiksa.
Merekapun menjadi sangat excited
ketika bus yang kami tumpangi harus naik kapal laut yang besar untuk bisa
sampai di Lampung. Bagi Naura, ini adalah pengalaman pertamanya. Matanya begitu
takjub melihat kapal berukuran besar dan hamparan air sejauh mata memandang.
Sesampai di Pelabuhan Bakauheni, wajah lain Indonesia di luar Pulau Jawa, mulai
terlihat. Hamparan kebun pisang dan kelapa yang menjadi salah satu hasil
pertanian utama Lampung, terlihat di sisi kiri dan kanan jalan yang menanjak.
Kekhawatiran anak-anak akan merasa asing dan susah beradaptasi di
tempat baru ternyata tidak terbukti. So far, mereka ternyata baik-baik
saja. Relatif mudah beradaptasi dan menjalani liburan dengan enjoy. Mereka
hanya sempat shock dengan arus lalulintas
yang agak menyeramkan karena tempat tinggal kakek neneknya berada di jalur
lintas Sumatera. Selain ramai, kendaraan yang berlalu lalang adalah jenis truk
besar dan bus antar kota antar propinsi.
Anak-anak juga terlihat begitu surprised
ketika mendapati sejumlah daerah di Lampung yang namanya sama dengan daerah di
Jawa. Seperti Surabaya, Pekalongan, Purbalinggga, Probolinggo dan sebagainya.
“Di sini memang banyak daerah yang namanya sama dengan di Jawa
Mbak” jelas saya pada Sasha.
“Koq bisa Ma?” tanya Sasha penasaran. Dan mulailah saya berkisah
tentang transmigasi beberapa puluh tahun lalu untuk menjawab pertanyaannya.
Bagaimana masyarakat Jawa saat itu ditempatkan di daerah yang masih berupa
hutan.
“Waktu itu masih ada macannya donk Ma?” tanya Sasha lagi.
“Katanya iya, tapi sekarang sudah jauh lebih maju, seperti daerah
yang lain. Padahal dulu mereka sampai harus membuat sungai agar kebutuhan air
di daerahnya dapat terpenuhi dengan baik”
“Wah, buat sungai bukannya sangat susah Ma? Sungai itu kan lebar
dan dalam?” tanya Sasha dengan mata agak mendelik.
“Ya. Mereka harus bekerja sangat keras Nak” jawab saya lirih.
Di lain waktu, mereka juga saya ajak ke pasar tradisional
setempat.
“Pasarnya berbeda ya Ma, dengan pasar di tempat kita?” komentar Sasha
saat melihat aneka macam buah dan sayur yang beberapa di antaranya jarang kami
temui di kota kami. Cara pedagang mengemasnya juga menarik perhatiannya. Tak
lupa kami membeli sejumlah makanan khas daerah yang umumnya hanya dijual di
pasar tradisional seperti geblek,
cemilan berbentuk gelang yang terbuat dari sagu dan singkong dengan pipihan kelapa
yang kecil-kecil.
Beruntung, saat liburan kemarin juga bertepatan dengan Pameran
Pembangunan tahunan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah setempat. Dengan
begitu, kami seolah ‘menjelajah’ Lampung dalam semalam. Beragam hasil kerajinan
dan pertanian dari seluruh pelosok Lampung di pajang di rumah-rumah adat.
Anak-anak terlihat takjub, betapa indah dan beragamnya Indonesia. Padahal ini
baru Lampung.
Tiga minggu di Sai Bhumi
Ruwa Jurai terasa begitu cepat berlalu. Liburan ala backpacker ini harus segera diakhiri. Cukup banyak pelajaran
tentang keragaman Indonesia yang anak-anak peroleh terutama bahwa, Indonesia
tidak hanya Jawa. Juga semangat berpetualang yang mulai terpatri di hati mereka
agar tumbuh menjadi anak-anak yang mudah beradaptasi dengan hal baru dan mudah
bertoleransi pada begitu banyak keragaman di tanah air. Dan salah satu ‘oleh-oleh’
yang dibawa anak-anak setelah berlibur ternyata, nada suara mereka menjadi
lebih tinggi dari sebelumnya. Terutama Sasha.
“Mbak, bisakah suaranya agak dipelankan? Mama seperti mendengar
orang marah kalau Mbak Sasha bicara” kata saya yang sempat kaget mendengar
suaranya yang tiba-tiba.
Ah, kenapa jadi saya yang shock
dengan suara keras ya? :)
# Tulisan telah dimuat di Majalah Parenting Edisi September 2013
Kereen banget mbaa Ririn..aku selalu suka dengan tulisanmu yang mengalir ^_^
BalasHapusMbak Tanti, apa kabar? Tulisan Mbak juga keren dan informatif.... :)
HapusWah keren mak, anak2 jg enjoy bgt ya Meskipun perjalanan jauh.. Sip :)
BalasHapusUntungnya anak-anak enjoy Mbak, gak bisa dibayangin kalau mereka rewel. Alhamdulillah, senangnya lagi, kisah liburan mereka bisa terdokumentasikan di media :)
Hapusseru banget Mbk, wah, pengen nulis juga ah di parenting, bagi alamatnya mbk.
BalasHapusTFS mbak Ririn. makin mantep ah makin sering dimuat di media ;)
BalasHapusTulisan mbak Ririn selalu mengalir, enak dibaca, dan informatif. Senang bisa ikut membaca :)
BalasHapusbtw, cerita liburannya seru banget, Mbak :)