![]() |
Sumber Foto : Republika |
Hadirnya
kurikulum kebencanaan di sekolah sempat membuat saya tenang manakala memikirkan
bencana yang bisa terjadi kapan saja dan bisa menimpa siapa saja, termasuk
ketika anak-anak tidak berada dalam pengawasan saya atau orang dewasa lainnya.
Namun, percakapan dengan putri sulung saya, Sasha, yang ketika itu masih duduk
di bangku kelas 3 SD, membuat saya berpikir bahwa tidak cukup hanya
mengandalkan sekolah saja untuk mempersiapkan generasi yang siaga bencana.
“Mama, tadi ada
gempa waktu aku lagi belajar di kelas” cerita Sasha ketika itu. Kebetulan memang
pada hari itu sebagian masyarakat di kota tempat saya tinggal, Jember, sedikit
mengalami getaran karena gempa yang terjadi di kota Malang.
“Apa yang Mbak
Sasha lakukan pas ada gempa tadi?” tanya saya menyelidik dengan rasa mulai
khawatir. Khawatir anak-anak itu tidak tau cara yang benar untuk menyelamatkan diri saat bencana seperti itu terjadi.
“Kami teriak Ma,
terus memeluk Bu Guru” jawabnya.
“Adik-adik kelas
malah banyak yang nangis sambil juga memeluk bu gurunya” lanjut Sasha lagi
sebelum saya sempat berkata apa-apa.
Untunglah
getarannya kecil. Kalau besar, apalagi kota tempat kami tinggal menjadi pusat
gempa, menangis dan memeluk bu guru saja tidak cukup untuk menyelamatkan diri saat
bencana terjadi. Apalagi, potensi bencana di negara kita sangat besar sehingga
sejak dini anak-anak harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup mengenai hal
ini.
Percapakan di
atas menjadi ‘teguran’ bagi saya untuk lebih berkomitmen dan melakukan tindakan
nyata dalam memberi edukasi dan sosialisasi yang memadai mengenai bencana pada
anak-anak saya. Karena, hanya mengandalkan kurikulum kebencanaan di sekolah
saja ternyata tidak cukup untuk membangun generasi yang siaga bencana.
Mengenal
Risiko Anak dalam Bencana
Anak-anak kerap menjadi korban terbesar saat bencana terjadi. Saat
tsunami melanda Aceh pada tahun 2004 lalu misalnya. Diperkirakan sekitar 75
persen dari keseluruhan korban adalah anak-anak dan perempuan. Begitu pula saat
gempa bumi terjadi di di Pakistan pada bulan Oktober 2005, diperkirakan lebih
dari 16 ribu anak-anak meninggal akibat runtuhnya gedung sekolah. Longsor lahan
di Leyte, Philipina, diperkirakan juga menewaskan lebih dari 200 anak sekolah. Sementara itu di Myanmar, 62 korban tewas saat
badai Nargis adalah anak-anak dan perempuan.
Tingginya risiko
anak menjadi korban dalam bencana membuat banyak negara memberi perhatian
sangat serius terhadap hal ini. Termasuk Indonesia. Apalagi, Indonesia termasuk
negara yang sangat rentan terhadap bencana. Salah satu terobosan penting yang
dilakukan pemerintah untuk menekan risiko bencana pada anak-anak adalah dengan memasukkan
materi kebencanaan dalam kurikulum pendidikan nasional di hampir semua jenjang.
Langkah ini merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Dalam UU tersebut
disebutkan bahwa pendidikan siaga bencana harus terintegrasi ke dalam program
pembangunan, termasuk ke sektor pendidikan. Terhitung sejak tahun 2011,
kurikulum kebencanaan resmi dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Tak
hanya untuk jenjang sekolah dasar, menengah dan atas, Direktorat Jenderal
Pendidikan Anak Usia Dini juga menerbitkan buku panduan pendidikan siaga
bencana untuk anak usia dini. Meski sejumlah terobosan ini penting, namun belum
cukup untuk secara maksimal membangun generasi muda yang siaga bencana. Terdapat
sejumlah alasan dan faktor yang melatarbelakanginya.
Belajar dari
Jepang sebagai salah satu negara dengan mitigasi bencana terbaik di dunia,
membangun masyarakat yang siaga bencana memerlukan waktu yang cukup panjang. Hampir
satu abad (90 tahun tepatnya sejak terjadi gempa hebat melanda negara tersebut
pada 1 September 1923), waktu yang diperlukan Jepang untuk membangun masyarakat
yang siaga bencana seperti sekarang. Itupun tidak langsung berlangsung secara
simultan. Ada pasang surut hingga gempa Kobe pada tahun 1995 lalu kembali memantik
kesadaran mereka untuk lebih siaga terhadap bencana.
Keberhasilan
Jepang membangun masyarakat yang siaga bencana juga didorong oleh
terintegrasinya pendidikan tentang kebencanaan dengan banyak sektor selain
dunia pendidikan, juga melibatkan segenap komponen masyarakat. Sehingga, siaga
bencana telah menjelma menjadi bagian dari budaya masyarakat Jepang. Tidak
hanya orang dewasa yang mengerti bagaimana bersiaga terhadap bencana, anak-anak
bahkan balita di sana juga memiliki pengetahuan yang sangat baik mengenai
bagaimana bersikap benar saat bencana terjadi.
Siaga Bencana dari Rumah
Kurikulum
kebencanaan penting, tapi tidak cukup. Untuk itu, rumah dan keluarga perlu
turut mengambil bagian penting untuk membangun generasi siaga bencana. Ada
banyak cara yang bisa dilakukan oleh keluarga Indonesia untuk mempersiapkan
generasi muda mereka menjadi generasi yang siaga bencana.
- · Dongeng sebelum Tidur tentang Kebencanaan
Dongeng
dipercaya sebagai cara yang efektif dan menyenangkan bagi anak-anak untuk
menanamkan nilai-nilai dan juga pelajaran berharga lainnya mengenai berbagai
hal termasuk tentang kesiagaan terhadap bencana. Dalam dongeng yang identik
dengan imajinasi, materi tentang siaga bencana dapat diselipkan melalui
cerita-cerita binatang yang kerap mampu mengenali tanda-tanda bencana di
sekitar mereka. Dalam cerita sebelum tidur ini pula, para orang tua juga bisa
berkisah tentang kearifan lokal nenek moyang kita dalam mengenali gejala
bencana dan bagaimana mereka bersikap arif dan bijak terhadap alam untuk meminimalisir
bencana yang diakibatkan oleh ulah manusia. Cara ini tidak hanya efektif untuk
anak-anak di usia sekolah namun juga anak-anak usia dini bahkan balita.
Sehingga dalam konteks ini, anak tak perlu menunggu memasuki usia sekolah untuk
memiliki pengetahuan kebencanaan sejak dini. Semakin dini mereka mengetahuinya,
maka akan semakin siap mereka menghadapi bencana yang bisa terjadi kapan saja.
- · Melalui Bacaan yang Edukatif dan Atraktif
Edukasi
dan sosialiasi kebencanaan juga akan mudah dipahami oleh anak-anak jika
disampaikan melalui bahan bacaan yang edukatif dan atraktif. Melalui komik
misalnya. Edukasi dan sosialisasi kebencanaan melalui komik khususnya manga
(komik gaya Jepang), pernah dilakukan oleh Yuka, mantan Miss Japan untuk Miss
Asia Pasific 2005, yang terpanggil hatinya untuk mempersiapkan masyarakat
terutama perempuan dan anak-anak agar lebih siaga terhadap bencana. Yuka yang
memiliki latar belakang sebagai jurnalis di NHK International ini menggandeng
Nayu Hanii, komikus Jepang yang bekerja untuk majalah Sho-comi. Yuka memilih
manga sebagai media edukasi karena menganggap cara ini sangat mudah dan
menyenangkan terutama bagi anak-anak untuk memahami pesan moral yang dikandung
di dalamnya. Dengan dana pribadinya, Yuka menyebarkan komiknya ke berbagai
daerah rawan bencana baik di Jepang maupun di luar Jepang, termasuk Indonesia,
tepatnya Aceh. Tentu saja, komik Yuka sebelumnya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia.
Cara
Yuka di atas bisa menjadi inspirasi bagi para komikus, penulis dan penerbit di
Indonesia untuk turut ambil bagian dalam membangun generasi muda Indonesia yang
siaga bencana. Tugas orang tua, sekolah dan juga pemerintah adalah membuka
sebesar-besarnya akses anak terhadap bacaan yang sangat berguna seperti ini.
- · Edukasi Kebencanaan Melalui Film Dokumenter dan Animasi
Cara
lain yang tak kalah menyenangkan namun sangat
efektif untuk membangun generasi siaga bencana adalah melalui audio
visual terutama film baik film dokumenter maupun film animasi yang umumnya
sangat disukai oleh anak-anak. Dunia perfilman kita sebenarnya sudah cukup
mumpuni untuk menghasilkan karya yang berkualitas dalam jumlah yang cukup. Perlu
ada gebrakan dari pemerintah untuk menyinergiskan kurikulum kebencanaan yang
telah ada dengan berbagai sektor strategis seperti dunia perfilman sehingga
upaya membangun generasi muda dan masyarakat yang siaga bencana bisa semakin
terakselerasi.
- · Praktik melalui Outbond dan Kegiatan Rekreasi
Teori
saja tentu tidak cukup. Anak-anak perlu berlatih secara langsung melalui
cara-cara yang menyenangkan. Sejumlah cara yang bisa menjadi pilihan antara
lain melalui kegiatan outbond ataupun kegiatan rekreatif lain yang bisa melatih
daya ketangkasan dan kecintaan anak terhadap alam. Melalui kegiatan luar ruang
ini, anak bisa berinteraksi lebih dekat dengan alam. Poin ini sangat penting karena
sejumlah bencana yang mengintai kita juga ada yang disebabkan oleh perilaku
manusia yang kurang arif pada alam dan lingkungan. Sehingga dalam konteks ini,
anak tidak hanya diajarkan bagaimana bisa survive
saat bencana terjadi, namun juga tau bagaimana cara mencegah bencana yang
diakibatkan oleh tangan-tangan jahil manusia. Seperti bencana banjir dan
kebakaran.
·
- Melatih Kepedulian, Empati dan Charity Anak
Selain
kesiagaan diri terhadap bencana, kepedulian, empati dan sikap sosial anak terhadap
mereka yang menjadi korban bencana juga perlu dilatih. Pembelajaran ini sangat
penting karena korban bencana umumnya sangat membutuhkan bantuan untuk kembali
bangkit dan pulih. Untuk menumbuhkembangkan kepedulian, empati dan charity anak, mereka dapat dilibatkan
secara langsung saat pengumpulan bantuan bagi korban bencana, seperti dengan
menyisihkan sebagian uang saku maupun pakaian dan mainan yang masih layak
pakai.
Sejumlah langkah di atas
terbilang cara yang mudah namun memiliki manfaat yang sangat luar biasa untuk
membantu menyukseskan program pemerintah dalam membangun generasi yang siaga
bencana sejak dini melalui kurikulum kebencanaan di sekolah.
Bencana
bisa terjadi kapan saja dan di mana saja. Jangan menunggu anak masuk usia
sekolah untuk membekali mereka tentang pengetahuan yang penting ini. Saat sudah
masuk sekolahpun, hanya mengandalkan kurikulum kebencanaan di sekolah saja juga
tidak cukup. Saatnya para orang tua dan keluarga Indonesia memainkan peran yang
penting dan strategis untuk membangun generasi muda dan masyarakat yang siaga
bencana.
kalau di gresik, belum ada mak kurikulum ini. tapi memang perlu sekali ya. mengingat lokasi indonesia yang kepulauan. makasih informasinya :)
BalasHapusBelum sampai di semua sekolah sepertinya Mbak, di kota saja banyak yang belum, apalagi pelosok. Sehingga sebagai orang tua kita harus bersikap proaktif dan mengantisipasi sejak dini, termasuk pembekalan saat menghadapi gejala-gejala kriminalitas yang kian marak saja akhir-akhir ini. Terimakasih sudah mampir Mbak Rochma..... :)
Hapus