Foto : rri.co.id |
Baru libur panjang kemarin saya dan keluarga memiliki waktu yang klop untuk liburan lama. Seperti yang sudah kami idamkan sejak lama, maka Lampung terpilih sebagai tempat untuk menghabiskan liburan. Selain liburan dan bersilaturahim dengan keluarga, saya pribadi ingin menjadikan liburan tersebut sebagai ajang untuk survey sekaligus membandingkan bagaimana kehidupan di Jember dan Lampung. Terutama dari sisi sosial masyarakatnya.
Karena pasti berbeda, maka sejak jauh hari saya sudah "membekali" anak-anak dengan sejumlah pesan agar mereka tidak terlalu shock dengan segala perbedaan dan mungkin sejumlah keterbatasan sarana dan prasarana yang akan kami temui nanti.
Karena pasti berbeda, maka sejak jauh hari saya sudah "membekali" anak-anak dengan sejumlah pesan agar mereka tidak terlalu shock dengan segala perbedaan dan mungkin sejumlah keterbatasan sarana dan prasarana yang akan kami temui nanti.
“Di sana orang-orangnya suka berbicara dengan suara yang
keras. Jangan mengira mereka sedang marah ya?” pesan saya pada Sasha. Sementara
untuk Naura yang masih berumur 4,5 tahun, pesan saya lebih sederhana.
“Adek Nau nanti jangan rewel ya, apalagi baru sampai sudah minta pulang. Jember
itu jauh lho Nak” hehehe, kalau yang ini masalah teknis. Karena biasanya anak seusia Naura mudah bosan di tempat baru apalagi terasa asing.
So far, anak-anak ternyata baik-baik saja. Mereka relatif mudah beradaptasi dan menjalani liburan dengan enjoy. Justru saya dan
ayahnya yang agak sewot. Saya tiba-tiba jadi malas kemana-mana, karena
kemana-mana jauh. Mau belanja kebutuhan sehari-hari saja, sering saya tunggu
sampai banyak list-nya. Karena toko terlengkap terdekat hanyalah Indomaret dan
Alfamart. Tidak terlalu jauh memang, hanya sekitar 1 km. Tapi karena terletak
di pertigaan lintas Sumatera, saya suka keder lihat truk-truk besar dan
kendaraan pribadi yang suka nyelonong dengan kecepatan tinggi.
Anak-anak sempat shock juga waktu saya ajak jalan-jalan dengan sepeda motor. Bagaimana mereka tidak ketakutan, jika di belakang sepeda motor yang kami naiki ada sebuah truk jumbo yang mengekor dengan kecepatan tinggi dan hanya berjarak mungkin hanya sekitar 3 meter dari kami. Lalu tiba-tiba dari arah depan ada kendaran yang menyalip, juga dengan kecepatan tinggi. Sesuatu yang nyaris tidak pernah kami temui di Jember.
Anak-anak sempat shock juga waktu saya ajak jalan-jalan dengan sepeda motor. Bagaimana mereka tidak ketakutan, jika di belakang sepeda motor yang kami naiki ada sebuah truk jumbo yang mengekor dengan kecepatan tinggi dan hanya berjarak mungkin hanya sekitar 3 meter dari kami. Lalu tiba-tiba dari arah depan ada kendaran yang menyalip, juga dengan kecepatan tinggi. Sesuatu yang nyaris tidak pernah kami temui di Jember.
Selain arus lalulintas yang menyeramkan (untuk ukuran saya :) ), ternyata mudah
sekali terjebak macet di sini. Termasuk tempat tinggal ortu yang terbilang agak
pinggiran namun berada di jalur lintas Sumatera. Satu kilometer pernah harus ditempuh
dalam waktu 30 menit. Gak ngalahin kota metropolitan ya? :) Selain pertambahan
jumlah kendaraan yang sangat pesat, kemacetan di Lampung juga disebabkan oleh
pembangunan sejumlah jalan layang. Lampung memang sedang giat membangun dan
memperbaiki infrastrukturnya saat ini.
Jika di jalan besar sering macet dan budaya berlalu lintasnya
menyeramkan, keprihatinan lain kami temui ketika menyusuri jalan di pedesaan
atau pedalaman. Jalannya banyak yang rusak dengan lubang besar menganga di sana
sini. Tidak bisa dibayangkan bagaimana bahayanya bagi pengendara terutama
pengendara sepeda motor saat musim hujan.
Selain arus lalu lintas yang memicu adrenalin dan macet yang
bikin sebel, saya dan suami juga dibuat terperangah dengan budaya antri sebagian
masyarakatnya. Suami mengalami kejadian ini ketika sedang antri di loket
pembelian tiket kapal penyeberangan. Sedang saya mengalaminya ketika sedang
antri di sebuah toko swalayan.
Saat itu, saya sengaja tidak terlalu dekat pembeli yang
sedang dilayani kasir. Tapi seharusnya cukup jelas jika saya sedang mengantri
di barisan itu. Tiba-tiba, seorang ibu dengan belanjaan penuh yang semula antri
di kasir sebelah pindah dan tanpa permisi berdiri di depan saya. Saya hampir
menegurnya ketika ternyata si ibu terlibat kehebohan dengan anaknya yang tak
sabar ingin segera dilayani oleh kasir. Suara si ibu yang cukup keras menegur
anaknya membuat saya mengurungkan niat untuk mengingatkannya soal antrian. Pada
anaknya saja ia cukup ketus, apalagi pada orang lain. Pikir saya ketika itu.
Penyerobotan antrian juga kerap terjadi di ATM. Saya dan suami acapkali hanya
bisa tersenyum prihatin.
Namun di balik sikap masyarakatnya yang keras terutama saat
berlalu lintas dan banyak yang tidak tertib saat antri, ternyata kami menemukan
hal positif lain dari masyarakat Lampung. Selama di sini, kami nyaris tidak
menemui perempuan-perempuan yang berpakaian seksi. Tidak hanya di Bandar
Lampung yang merupakan ibukota propinsi, namun juga kota dan daerah lain yang
lebih kecil tingkatannya. Justru, kami sangat mudah menemukan perempuan-perempuan
berbusana sangat Islami. Sebuah pemandangan cukup kontras dengan kota tempat
tinggal kami yang berjuluk Kota Santri. Di mana para pria sebaiknya memakai
kaca mata kuda karena begitu mudahnya mendapati pemandangan aurat yang terbuka
di sini, hehehe.
Selain rapi dalam berpakaian, saya juga salut dengan
semangat kerja masyarakatnya. Mungkin karena Lampung, seperti daerah luar Jawa pada
umumnya, tidak sesubur Jawa yang mendapat julukan ‘tanah syurga’, masyarakat di
sini harus berjuang lebih keras untuk survive. Semangat bekerja keras
barangkali juga diturunkan oleh para tetua yang sebagian adalah para
transmigran.
Kesuksesan sebagian orang yang hijrah ke Lampung
menginspirasi anggota keluarganya yang lain untuk mencoba cara yang sama. Tapi,
tentu tak semudah membalik telapak tangan. Di sini, para pendatang baru itu
bersedia kerja serabutan apa saja, untuk mencapai hidup yang lebih baik. Termasuk
menjadi penunggu kebun sawit berhektar-hektar hanya seorang diri.
Jauh dari keramaian, termasuk juga peradaban, mau tidak mau
membuat si penunggu kebun sawit harus mampu bertahan hidup dengan segala macam
cara. Bertemu binatang buas akhirnya menjadi sesuatu yang biasa, termasuk
mengolah makanan yang tidak biasa untuk mengganjal perut.
Dari ibu juga saya dapati sejumlah cerita tentang betapa
gigihnya sejumlah orang di sekitar tempat tinggal kami dalam bekerja.
Seringkali mereka mau mengerjakan pekerjaan apa saja, yang penting halal. Tak
peduli meski dalam pandangan orang lain, pekerjaan itu bernilai rendah. Sesuatu
yang kadang sulit saya temui di Jawa, di mana banyak orang cukup pilah pilih
dalam bekerja.
Meski terasa singkat, liburan tiga minggu di Sai Bhumi Ruwa Jurai itu harus segera diakhiri.
Semoga bisa segera bersua kembali.....:)
Semoga bisa segera bersua kembali.....:)
* * *
pingin lihat foto-fotonya :-)
BalasHapusfoto yang mana Mbak? kemacetannya-kah? :)
HapusMertua saya juga tinggal di Sumatera, Mbak Rin. Memang lalu lintasnya meyeramkan. Anak2 SD dan SMP bebas menggunakan sepeda motor. Tanpa helm pula. Kondisi jalanan juga banyak lubang dan berbahaya. Saluran drainase gak ada. Sampah dibakar di rumah masing2. Lengkaplah sudah : panas, ruwet, polusi... hehehe... Jadinya males mo kemana-mana. Ira
BalasHapusIya Mbak Ira, lalulintasnya memang memacu adrenalin. Lama-lama kita bisa terpengaruh juga dengan gaya berlalulintas orang-orang di sana. However, rumah dan kampung halaman tetap akan kita rindukan, bagaimanapun adanya....:)
HapusSaya sempat akrab dengan truk-truk pengangkut batubara dan kelapa sawit, sukses membuat saya mlipir..hehehe.
BalasHapusFenomena hampir di seluruh sumatera ya Mbak? :)
HapusSalam
BalasHapusBerbagi Kisah, Informasi dan Foto
Tentang Indahnya INDONESIA
http://www.jelajah-nesia.blogspot.com