![]() |
Foto dari sini |
Sebenarnya sudah sejak lama saya ingin menulis tentang ini, tentang pemberian atau hadiah-hadiah yang sangat mengesankan dalam hidup saya. Saya kembali mengingatnya dan bersegera menggalinya dari tumpukan memori karena sebuah kejadian pagi ini, saat Ibu memberesi isi kulkas yang sesak. Beliau menemukan pempek yang dibeli salah satu adik saya kemarin sore.
Mungkin karena terlambat dimasukkan kulkas, pempek itu mulai beraroma agak expired. Sayang untuk dibuang. Karena selain masih bisa dimakan dengan terlebih dahulu merebusnya kembali, kami tentu harus menghargai adik yang sudah menggunakan sebagian uang jajannya yang tidak seberapa untuk membelinya untuk kami. Sambil memakannya siang ini, saya teringat sejumlah pemberian sangat mengesankan yang pernah saya dapatkan. Pemberian yang secara nominal mungkin nilainya tidak seberapa, namun banyak cinta di dalamnya. Itulah yang membuatnya sangat berkesan bagi saya dan masih terkenang hingga sekarang.
****
“Ling, kuliah pagi ya?” sapanya pada saya pagi itu. Sahabat
saya yang satu ini senang sekali memanggil saya dengan ‘Ling’, kependekan dari ‘Lingua’
katanya. Entah mengapa ia memanggil saya dengan panggilan itu. Kala itu masih
belum jam enam pagi, tapi ia sudah duduk manis di jembatan menuju kampus kami.
Saya yang sudah hampir terlambat masuk kelas hanya mengangguk sambil tersenyum
dan terus berlalu.
“Nanti ke sini ya Ling kalau sudah kuliah” katanya setengah
berteriak.
“InsyaAllah” kata saya juga dengan setengah berteriak. Saya
tengah setengah berlari karena Pak Dosen sudah terlihat menuju kelas. Dosen
yang satu ini tak suka melihat mahasiswa yang terlambat datang ke kelasnya.
Usai kuliah, sahabat saya itu sudah duduk manis lagi di
jembatan.
“Aku punya hadiah untukmu” katanya. Dengan senyum manis yang
hampir selalu menghiasi wajahnya.
“Apa ini?” kata saya sembari menerima sebuah bingkisan.
“Bukanya di kos saja ya? Jangan lihat harganya ya Ling, aku
memberinya dengan sepenuh cinta lho” katanya sembari mengerlingkan mata. Saya
hanya tersenyum.
Sesampai di kos, saya dapati jilbab berwarna krem dengan border
coklat di tepinya. Sebuah jilbab yang cantik, dan sebenarnya cukup mahal untuk
ukuran mahasiswa ketika itu. Jilbab itu entah di mana sekarang, tapi kesannya
masih bersemai di hati hingga kini.
*****
Di lain waktu,
“Mbak, kemarin aku lihat sampeyan di depan Centrum, beli
kain ya?” kata salah satu kerabat saya di desa.
“Iya, cari kain untuk jilbab. Tapi gak nemu padahal aku
sudah cari hampir di semua toko kain” jawab saya sembari menyebutkan sejumlah
nama toko kain besar di kota saya.
“Memang cari kain yang bagaimana?” kata kerabat yang lebih
tua, hampir sama dengan ibu saya usianya.
“Cari yang warna hijau Mbak” saat itu saya memang belum
memiliki baju dan jilbab warna hijau.
“Aku ada Dik, kalau kamu mau. Tapi bukan jilbab baru, jarang
aku pake koq” katanya dengan bersemangat. Saya hanya bengong. Bukan tidak mau
jilbab bekas, tapi rasanya koq gak enak kalau merepotkannya.
“Ayo kita cari di lemari” katanya kemudian sambil menggamit
tangan saya menuju kamarnya.
Satu per satu pakaian di lemari tuanya dikeluarkan hingga
pakaian memenuhi tempat tidurnya, namun jilbab yang dicari tidak juga ketemu.
“Jilbabnya masih bagus koq” katanya berulang kali meyakinkan
saya bahwa jilbabnya masih layak pakai. Saya semakin tidak enak telah
membuatnya repot. Tapi antusiasmenya untuk memberi saya jilbab begitu menyentuh
hati saya.
Hampir setengah jam berlalu dan hampir semua isi lemari dikeluarkan,
tapi jilbab itu masih belum juga menampakkan diri.
“Sudah yuk Mbak, jilbabnya mungkin terselip di tempat lain”
katanya saya mencoba mengakhiri perjuangannya mencari jilbab itu.
“Aduh, jarang sekali aku berkesempatan bisa memberimu.
Giliran kesempatan ada, eh barangnya yang tidak ada” katanya. Saya semakin
merasa tidak enak, begitu inginkah ia memberi saya sesuatu?
Jilbab itu akhirnya memang tidak ketemu. Tapi tulus hatinya
yang ingin memberi saya sesuatu, begitu membekas di hati.
*****
Di usia yang sudah sedewasa ini, saya sangat beruntung masih
bisa sering bersua dengan Kakek saya, dalam kondisi yang masih cukup bugar di
usianya yang begitu senja. Saya memanggilnya dengan panggilan ‘Eyang’. Saat mengunjunginya,
1 atau 2 kali dalam sebulan, biasanya saya membawa makanan kesukaannya. Cukup
sering mengunjungi dengan hampir tak pernah tidak membawa oleh-oleh, membuat kakek
saya ingin juga memberi saya sesuatu. Dan itu berupa jambu biji bangkok yang
tumbuh di depan rumahnya.
Saat jambu-jambu mulai agak besar, Eyang biasanya
membungkusnya dengan koran. Jambu-jambu itu dibiarkan masak di pohon. Konon,
kakek cukup pelit jika ada tetangga yang minta, hehe. Alasannya, itu untuk cucu
saya. Aduh, jadi tersanjung.
Begitu saya datang, Eyang biasanya langsung mengunduh
jambu-jambu yang masak. Hampir semuanya diberikan pada saya, padahal jumlahnya
bisa mencapai sepuluh buah dengan ukuran yang cukup besar.
“Eyang, yang belum
masak jangan diambil juga” kata saya saat melihat Eyang yang sudah sepuh namun
begitu semangat memetik juga jambu yang belum terlalu masak.
“Berikan pada teman atau tetangga jika tidak habis” demikian
pesan kakek.
“Tapi itu kan belum terlalu masak?”
“Tidak apa diambil sekarang, mumpung kamu datang” saya hanya
diam. Mencoba menghargai niat besar Eyang untuk memberi saya buah tangan.
Begitulah, saat pulang dan kebetulan jambu di rumah Eyang
sudah masak, biasanya saya membawa satu kresek buah jambu. Bagaimana jika
sampai jambu-jambu itu masak dan saya tidak datang? Bagian ini begitu
mengharukan saya.
Kata Eyang Putri, Eyang Kakung biasanya akan menatap
jambu-jambunya sambil bergumam kapan saya akan datang. Pernah suatu kali, jambu-jambu
itu sudah begitu matang namun saya tidak kunjung datang, Eyang bersusah payah
naik ojek datang ke rumah.
“Eyang koq ke sini?” tanya saya dengan kaget mendapati Eyang
sudah berdiri di depan pintu.
“Ini, jambunya sudah masak, kamu gak datang-datang” ya ampun
Eyang.
Dengan tangan agak gemetar Eyang memberikan jambu-jambu itu
pada saya. Sayapun menerimanya dengan hati yang sangat terkesan.
Terimakasih untuk hadiah yang penuh cinta ini Eyang……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar