Sumber Foto : dari sini |
Awalnya, saya menganggap janji itu hanya sebatas janji.
Cukup diupayakan untuk ditepati, jika tidak bisa, minta maaf saja pada yang
bersangkutan. Dan masalah janji saya anggap selesai. Namun, percakapan dengan seorang
teman di suatu siang membuat saya membangun cara pandang baru soal janji.
“Saat kecil, ayah ibuku sering mengiyakan saat aku meminta
sesuatu yang tidak bisa langsung mereka tepati. Mereka mudah sekali mengatakan “iya”,
namun pada kenyataannya kata ‘iya’ yang kuanggap sebagai janji itu, seringkali
tidak ditepati” katanya memulai cerita.
“Pernah suatu kali, aku meminta sesuatu saat ayahku akan
pergi di pagi hari. Aku tidak tau ayahku mendengar dengan seksama atau tidak
barang yang kuminta, tapi beliau mengatakan ‘ya’. Aku tentu senang, maka
sepanjang hari itu aku hanya menunggu ayahku pulang. Aku tidak bermain ke luar
rumah, akupun makan dan mandi dengan cepat karena ingin berada di depan rumah
saat ayahku datang. Namun sampai malam, bahkan nyaris larut malam, ayah tidak
juga pulang. Aku menunggu sambil menahan kantuk yang teramat sangat di depan
pintu. Mungkin hampir jam sembilan malam ketika itu. Aku hampir benar-benar
tertidur ketika kudengar suara ayah yang baru pulang. Mataku langsung bersinar
namun beberapa saat kemudian menjadi berkaca ketika aku tau ternyata ayah tidak
membawa barang yang aku minta. Bahkan ayah lupa barang yang kusebutkan tadi
pagi. Ayah dan ibu langsung minta maaf saat itu, namun kenangan akan janji yang
tidak ditepati masih membekas hingga kini” saya terdiam mendengar ceritanya.
Teman saya itu tersenyum, namun matanya memerah. Sedih itu masih terasa
sepertinya meski telah hampir seperempat abad berlalu.
“Sejak itu aku berjanji untuk bersungguh-sungguh menepati
janji, sesederhana apapun janji yang harus kutepati. Sekalipun itu pada
anak-anak” kali ini wajahnya kembali berbinar. Dalam hati saya sangat
berterimakasih, karena ceritanya menjadi pengingat bagi saya untuk semakin
bersungguh-sungguh menepati janji yang sudah terucap, sekecil apapun dan pada
siapapun.
Membahas soal janji juga mengingatkan saya pada kisah salah satu
senior saya di kampus, yang hanya karena “janji sepele” yang tidak ditepati, ia
memutuskan untuk tidak melanjutkan proses ta’aruf (perkenalan) dengan seorang
dokter.
“Dokter lho Mbak, banyak yang mau jadi istrinya. Koq Mbak
malah membatalkan?” tanya saya dan beberapa teman lain yang saat itu berkerumun di kamar kosnya. Si
Mbak hanya tersenyum.
“Bagaimana aku percaya dia bisa menjadi imam yang baik bagiku dan
anak-anakku, jika menepati janji yang kecil saja dia tidak amanah” jawabnya.
Kami semakin penasaran, janji apa yang tidak ditepati si dokter, lulusan
terbaik dari sebuah universitas negeri ternama, anak orang terpandang juga.
“Aku hanya meminta ia menemui guru mengajiku, agar ia
berkenalan juga dengan beliau selain dengan orang tuaku. Tapi ia tidak datang
pada waktu yang telah ditentukan, tanpa pemberitahuan. Tanpa permintaan maaf
juga. Padahal guru mengajiku sudah menunggu. Ketika kutanya mengapa ia tidak
datang, ia hanya bilang jika ia lupa pada janjinya” kami hanya terdiam. Si Mbak
akhirnya memutuskan untuk membatalkan proses ta’aruf. Orang tua si Mbak sempat
marah, karena mereka sudah terlanjur suka dengan calon menantu yang memiliki
prospek masa depan cerah itu. Tapi si Mbak tetap keukeuh dengan keputusannya.
Ketika ditanya apakah ia tidak menyesal dengan keputusannya,
si Mbak menggeleng cepat dengan sangat yakin. Saya pribadi sangat salut pada
keputusannya ketika itu. Dan Maha Baik Allah pada setiap hamba yang menghargai
janjinya. Si Mbak ternyata akhirnya berjodoh dengan dokter lain, yang InsyaAllah
lebih memenuhi kriterianya. Barokallah ya Mbak :)
Pelajaran soal janji juga saya dapati dari salah satu
kerabat yang tidak bisa membaca karena tak sempat mengenyam pendidikan formal.
Iapun tak sempat mengenyam pendidikan di pesantren sebagaimana keluarga besar
lain pada umumnya. Namun itu semua tak mengurangi komitmennya untuk berusaha menepati janji sebaik mungkin. Yang membuat saya salut padanya, ia hampir selalu
mengatakan “InsyaAllah” setiap kali berjanji atau mengatakan sesuatu yang ia
tidak yakin kepastiannya. Tentu saja tak hanya sebatas kata namun
juga berupaya menepatinya sepenuh hati
Saya tak perlu bertanya padanya mengapa dalam sehari ia bisa
berpuluh kali mengucapkan kata “InsyaAllah”. Bukankah janji, sekecil apapun, memang
harus ditepati?
Menepati janji adalah bukti bahwa kita bisa dipercaya :)
Makasih cerita indahnya, Mbak Ririn. *membaca sambil mengingat-ingat janji-janji yang mungkin sudah saya sebar kemana-mana* hiks...
BalasHapusSama-sama Mbak, tulisan ini juga sekalian untuk mengingat-ingat kembali janji-janji yang mungkin terlupakan.....:)
Hapus