![]() |
Add caption |
Awal saya mulai mencintai dan intens menulis, sarana
aktualisasi yang saya kenal saat itu hanyalah lomba menulis. Menulis di media
sebenarnya sudah tidak asing karena selain cukup aktif di pers mahasiswa,
sejumlah teman aktivis merupakan orang-orang yang aktif menulis di media.
Sayapun sempat mencoba rubric opini yang disediakan khusus bagi mahasiswa namun
tak pernah dimuat. Terus menerus gagal meski baru mencoba dalam hitungan jari,
membuat saya membangun persepsi bahwa menembus media itu sangatlah sulit.
Akhirnya, saya mencoba meng-qonaahkan diri memaksimalkan aktivitas dan minat menulis
hanya melalui kompetisi. Hingga suatu hari, seorang teman memotivasi saya untuk
menjajal menulis di media.
“Ayo Mbak, media tidak seseram yang dibayangkan koq. Lomba
saja sering menang, media tentu sangat berpeluang” katanya saat itu.
“Aku bingung mau nulis apa. Aktualitas isu di media begitu
cepat berganti” kilah saya saat itu.
“Bahas saja fenomena yang berkembang dari perspektif HI” katanya mencoba mematahkan alibi kekhawatiran saya.
“Lumayan lho honornya” katanya kemudian ketika didapatinya
saya tidak juga mencoba.
“Satu bulan bisa 3 juta, cukup dengan 4-5 artikel” katanya to the point soal jumlah nominal honor.
“3 juta?” tanya saya dengan melongo. Besar juga, hehe.
“Bisa lebih malah. Cukup satu artikel saja setiap bulannya. Satu
di Kompas, satu di Jawa Pos, satu di Koran Jakarta, satu Kontan, satu di Sindo,
sudah hampir 3 juta kan?” katanya dengan santai.
Apa????
Kompas, Jawa Pos, Koran Jakarta, Kontan, Sindo????
Mendengar nama-nama koran ini saja nyali saya langsung
menciut. Dan dengan sendirinya nominal 3
juta itupun melayang. Tak berani saya memimpikannya, pun ketika akhirnya satu
per satu koran yang disebutkan teman saya itu berhasil saya tembusi meski tidak
semuanya. Semua mengalir begitu saja.
Saya menikmati kegiatan menulis Opini sebagai sebuah aktivitas belajar yang sangat menyenangkan. Honornyapun, meski jauh dari angka 3 juta, cukup membantu ketika saya sedang dalam proses menyelesaikan studi S-2. Pada periode inilah, saat saya larut begitu saja dalam aktivitas menulis dan lupa pada nominal 3 juta per bulan yang diceritakan teman tadi, saya menemukan sejumlah fakta bahwa menulis khususnya menulis di media ternyata telah cukup membantu sejumlah teman penulis menyelesaikan studinya hingga ke jenjang doctoral atau S-3.
Saya menikmati kegiatan menulis Opini sebagai sebuah aktivitas belajar yang sangat menyenangkan. Honornyapun, meski jauh dari angka 3 juta, cukup membantu ketika saya sedang dalam proses menyelesaikan studi S-2. Pada periode inilah, saat saya larut begitu saja dalam aktivitas menulis dan lupa pada nominal 3 juta per bulan yang diceritakan teman tadi, saya menemukan sejumlah fakta bahwa menulis khususnya menulis di media ternyata telah cukup membantu sejumlah teman penulis menyelesaikan studinya hingga ke jenjang doctoral atau S-3.
Sebut saja X, salah satu penulis yang pernah diberi kolom
khusus oleh sebuah media yang cukup ternama sebelum melanjutkan studi
pascasarjana ke Australia, ternyata menyelesaikan tahun terakhir SMA dan kuliah
studi S-1 dengan menulis sebagai sumber keuangan utama, bahkan hampir 100
persen. Kebetulan karena satu masalah, penulis yang saya kagumi ini harus
hengkang dari rumahnya sehingga harus membiayai hidupnya sendiri. Menulis saat
itu telah menjadi penopang utama hidupnya.
Seorang teman penulis lain tidak perlu pusing dengan biaya
kuliah S-2nya karena karir menulisnya sudah sedemikian cemerlang. Ini karena ia
telah merintisnya sejak awal kuliah S-1. Ia tidak perlu bersusah payah menembus
media karena per kata tulisannya telah bernilai lebih dari seribu rupiah. Atau,
per halaman tulisannya rata-rata bernilai Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu,
bahkan bisa lebih. Dengan nilai jual yang cukup tinggi, pendapatannya dari
menulis tidak hanya cukup untuk biaya kuliah dan hidup sehari-hari, namun
memungkinkannya untuk menjelajah Indonesia dan sejumlah negara lain. Hmmmm….
Penulis lain, seorang ibu rumah tangga, berhasil
menyelesaikan studi S-3nya dengan sebagian sumber pendapatan dari menulis.
Memang tidak murni dari menulis, karena ia juga mendapat sponsor dari Suami
Foundation dan sejumlah bisnis yang dijalankan bersama teman-temannya. Dengan
kebutuhan sekitar Rp 20 juta setiap semester atau sekitar Rp 3-4 juta setiap bulan
selama lima tahun lebih, pendapatan dari menulis telah berkontribusi cukup
signifikan bagi studinya. Tidak hanya ini, menulis juga telah membuat ibu
penulis yang satu ini dikenal banyak kalangan baik dalam maupun luar negeri.
Banyak instansi berebut untuk “meminang”nya begitu ia menyelesaikan studinya.
Berbagai kisah di atas cukup terlambat saya ketahui, namun
terlambat adalah lebih baik daripada tidak sama sekali. Sengaja saya membaginya
di sini dengan harapan, semoga banyak orang mengetahuinya lebih cepat agar
lebih dini dan lebih bersemangat untuk menyandingkan kegiatan menulis dengan
studi, terutama mereka yang sedang dan ingin melanjutkan studi ke jenjang yang
lebih tinggi. Menulis tidak hanya sangat potensial berkontribusi secara financial
namun juga secara pemikiran dan sosial. Setidaknya, tiga penulis di atas telah
membuktikannya.
Pengalaman kita sama mbak ririn, liza dulu juga aktif di pers kampus dan sering sekali mengirimkan tulisan ke media, tapi lebih banyak ditolak, akhirnya lebih senang ikutan lomba. padahal menulis di media itu penting untuk aktualisasi diri. beberapa waktu kirim lagi ke sebuah media di Aceh, tapi ditolak lagi :( membaca tulisan mbak membuat saya terpacu untuk mengirimkan lagi ke media. doakan dimuat ya mbak :)
BalasHapusMaaf baru balas, baru bisa sekarang komennya, tidak tau kenapa :)
HapusSemangat ya Mbak, semoga semakin produktif setelah ini.....:)
Ya Allah Bun, saya sekarang baru semester 6 kuliah PGSD, saya juga berkeinginan untuk kuliah dengan biaya sendiri (hasil nulis).
BalasHapusSya juga mengalaminya. Berkali menulis di media massa khusus mahasiswa tapi banayk ditolak.
Akhirnya sekarang saya aktif ikut lomba-lomba menulis. Dan waktu dekat juga mau nulis lagi untuk media.
Tapi alhamdulillah, sekarang nyambi kerja nulis di salah satu website.
Yang terakhir keren lho Mbak Ika, keep writing ya....:)
HapusAlhamdulillah, motivasi lagi buat saya.Terima kasih sharingnya,Mbak :)
BalasHapusTerimakasih kembali, semoga bermanfaat dan semakin memicu semangat :)
Hapushebat deh, jadi ikut semangat, rejeki itu memang datang dari arah yg tidak kita duga yaa :)
BalasHapusBetul sekali Bunda :)
HapusTerimakasih sudah mampir....
apapun yang di seriusi pasti ada "hasilnya" ya bun
BalasHapusYup Mbak Dewi :)
HapusDulu saya pernah kerja di media, trus jadi penulis lepas, trus blogger. Gara2 kehilangan motivasi menulis di media. hehehehe... sampai saya sempat merasa sedang menuruni tangga keberhasilan. Tapi saya tetap menulis walau skala blog pribadi. Syukurlah kemudian semangat menulis di media timbul lagi. Benar sekali, Mbak, media sama sekali tak seram. Asal bisa menyesuaikan diri dengan 'selera' mereka. Sekali dimuat bikin ketagihan nulis. :)
BalasHapusira
Kalimat penutupnya benar sekali Mbak Ira :) sekali menulis, InsyaAllah selamanya menulis :)
HapusWow .... tulisan ini bikin saya makin selamat menulis mak. TErimakash telah berbagi :)
BalasHapusTerimakasih kembali Bunda Mugniar :)
HapusWah, setelah membaca ini, sepertinya saya sudah lama tak menulis (di koran).... :)
BalasHapusMari menulis kembali :)
Hapus