Pemerintah
mengeluarkan moratorium penghentian sementara tenaga kerja Indonesia
(TKI) ke Arab Saudi mulai Agustus 2011 menyusul kasus eksekusi pancung
TKI Ruyati (54) yang menghebohkan. Pemerintah juga telah membentuk
Satgas TKI untuk melaksanakan tugas melindungi warga negara Indonesia
yang mendapatkan masalah di luar negeri.
Sebelumnya sejak tiga bulan terakhir, pemerintah sebenarnya juga telah
melakukan kebijakan pengetatan pengiriman TKI ke Arab Saudi. Langkah ini
diambil karena begitu kompleks persoalan perlindungan hukum dan jaminan
keamanan bagi TKI di negara tersebut yang tidak kunjung menemui titik
temu sampai mencuatnya kasus hukum pancung Ruyati.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengevaluasi sistem rekruitmen,
penempatan dan perlindungan TKI di Arab Saudi sekaligus membenahi titik
lemahnya. Kebijakan pengetatan sesungguhnya merupakan bentuk soft
moratorium atau moratorium lunak. Jika ternyata langkah ini tak cukup
efektif mereduksi masalah, bukan tidak mungkin pemerintah akan mengambil
kebijakan yang lebih ekstrem, yakni moratorium permanen atau zero
placement (penempatan nol).
Masyarakat sendiri sebenarnya sejak lama telah meminta pemerintah untuk
segera memberlakukan kebijakan moratorium total atau zero placement TKI
ke Arab Saudi. Di negara yang menjadi pengimpor pembantu rumah tangga
(PRT) terbesar dari Indonesia ini, diperkirakan sekitar 1,5 juta TKI
bekerja sebagai PRT atau sekitar 70% dari total TKI yang bekerja sebagai
PRT di seluruh negara tujuan.
Ironisnya, di negara ini pula Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat, sepanjang 2010
hingga 1 November, dari total 3.835 kasus penganiayaan yang menimpa TKI,
terbanyak terjadi di Arab Saudi, yakni sebanyak 55%. Begitu juga dengan
pelecehan seksual yang mencapai 68%. Tak hanya itu, TKI yang pulang
dalam kondisi cacat, pulang dalam kondisi hamil atau membawa anak hasil
hubungan gelap atau karena ulah majikan, TKI yang bekerja bertahun-tahun
tanpa digaji, bahkan pulang tinggal nama, terbanyak juga dari Arab
Saudi.
Kepulangan 2.349 warga negara Indonesia yang sebagian besar adalah TKI
yang over stay atau bermasalah dari Arab Saudi pada 4 Mei lalu memang
kian menambah kegeraman kita. Sebagian besar dari mereka berada dalam
kondisi memprihatinkan, 123 orang dalam keadaan hamil dan 4 TKW
melahirkan selama di perjalanan. Berbagai fakta memilukan ini semakin
menguatkan desakan agar kebijakan moratorium permanen atau zero
placement ke Arab Saudi segera diberlakukan. Tasa-rasanya banyak kalangan akan mengapresiasi langkah moratorium
permanen ke Arab Saudi jika kebijakan ini benar-benar diberlakukan.
Moratorium diharapkan akan memutus lingkaran setan kekerasan dan
tindakan tidak manusiawi terhadap TKI. Namun, sejumlah persoalan
dipastikan juga akan muncul jika kebijakan tersebut benar-benar
dilaksanakan.
Setelah penghentian pengiriman tenaga kerja, pemulangan TKI yang over
stay atau telah atau akan habis masa kerja atau kontrak kerjanya, dapat
dipastikan jumlah pengangguran di dalam negeri akan bertambah secara
signifikan. Bukan tidak mungkin, tanpa langkah antisipatif yang konkrit
dan tepat sasaran, pengangguran baru tersebut akan menambah deret
panjang daftar orang miskin di negeri ini. Sejumlah persoalan lain
dipastikan akan segera menyusul dan semakin kompleks. Seperti,
meningkatnya kriminalitas.
Di sisi lain, menjadi TKI tetap akan menjadi pilihan jika kebijakan
moratorium tidak diimbangi dengan sejumlah upaya pembukaan kesempatan
kerja yang memadai di Tanah Air. Ketika kebijakan moratorium ke Arab
Saudi diberlakukan, maka sejumlah negara lain akan menjadi tujuan
berikutnya.
Kondisi beberapa negara yang menjadi 'surga' bagi para TKI, antara lain
Singapura, Hong Kong dan Taiwan cukup bertolak belakang dengan di Arab
Saudi. Di negeri kaya minyak ini, para PRT acapkali mengalami penyiksaan
dan penindasan. Sebaliknya para buruh migran di tiga negara tersebut
justru bisa bermetamorfosis secara dinamis untuk mempersiapkan kehidupan
yang lebih baik sekembalinya ke Tanah Air. Dengan perlindungan hukum
yang jelas dari negara tempatnya bekerja, selain memperoleh gaji dan
perlakuan yang layak, mereka juga memperoleh kesempatan untuk
beraktualisasi dan mengembangkan potensi diri.
Agar persoalan di Arab Saudi tidak terulang, pemerintah harus melakukan
sejumlah langkah strategis mengingat gelombang pengiriman TKI ke negara
lain diperkirakan akan meningkat jika kebijakan zero placement
benar-benar diberlakukan. Apalagi, permintaan TKI di luar negeri seperti
Malaysia masih sangat tinggi. Jangan sampai, kebijakan moratorium
justru menyuburkan jalur pengiriman TKI secara ilegal yang membuat
posisi tawar TKI semakin rendah sehingga risiko TKI saat bekerja di
negeri orang semakin besar.
Seperti Filipina, profesionalitas manajemen pengiriman TKI harus
ditingkatkan. Sejak persiapan pemberangkatan, selama bekerja di negara
tujuan hingga kembali ke Tanah Air. Calon TKI harus benar-benar siap
untuk bekerja di luar negeri, memahami hak dan kewajibannya serta
memahami aspek perlindungan terhadap diri sendiri. Ini akan meningkatkan
posisi tawar TKI itu sendiri. Sudah selayaknya warga negara yang memilih bekerja sebagai TKI mendapat
perlindungan dan dukungan optimal dari negara. Mereka sudah mengurangi
beban pemerintah bahkan justru membantu melalui remitansi yang jumlahnya
sangat signifikan.
Pemerintah juga harus bersikap kooperatif dan memiliki peraturan yang
lebih konkrit tentang TKI mengingat negara-negara seperti Singapura,
Hongkong dan Taiwan memiliki undang-undang yang secara tegas mengatur
dan melindungi para tenaga kerja asing yang bekerja di negaranya
termasuk mereka yang bekerja di sektor informal sebagai PRT. Jika bukan
pada pemerintah, kepada siapa lagi mereka berharap? ***
Tulisan telah dimuat di Harian Suara Karya, 5 Juli 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar