![]() |
Sumber Foto : e-campusradio.com |
Wacana mengenai kebencanaan seringkali mengabaikan resiko perempuan dan peran strategisnya dalam manajemen resiko bencana. Ini sangat disayangkan karena sejumlah penelitian menunjukkan besarnya resiko perempuan dalam bencana. Seperti studi yang dilakukan oleh the London School of Economics and Political Science terhadap 141 negara yang terkena bencana pada periode 1981-2002. Studi tersebut menemukan data bahwa perempuan merupakan korban terbesar dari berbagai bencana alam yang pernah terjadi. Pada bencana tsunami di Aceh tahun 2004 misalnya, sebanyak 55-70 persen korban meninggal adalah perempuan.
Tren yang sama bahkan juga terjadi di sejumlah negara maju.
Pada bencana gelombang panas di Perancis tahun 2003, perempuan merupakan 70
persen dari 15.000 korban meninggal. Begitu pula saat terjadi badai Katrina di
Amerika Serikat. Mayoritas korbannya adalah perempuan miskin keturunan Amerika-Afrika
yang termasuk kategori masyarakat paling miskin di Amerika.
Potensi Bencana di Indonesia
Menurut Maplecroft,
sebuah firma konsultan risiko global dari Inggris, Indeks Resiko Bencana Alam
(NDRI) Indonesia berada pada tingkat yang ekstrem. Indonesia merupakan negara
dengan tingkat kerentanan bencana terbesar kedua di dunia setelah Bangladesh.
Indonesia juga tercatat sebagai negara dengan jumlah gempa bumi dengan kekuatan
di atas 4 pada skala Richter yang terbanyak, yaitu rata-rata lebih dari 400
kali per tahun. Terkait dengan kerawanan terhadap bencana ini, pemerintah dan
pihak-pihak yang terkait terus berupaya memperbaiki sistem penanggulangan
bencana yang lebih baik dari waktu ke waktu. Mulai dari tahap mitigasi, tanggap
darurat hingga upaya pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana.
Alokasi dana
yang semula lebih difokuskan untuk tanggap darurat dan pemulihan pasca bencana,
sebagian mulai dialihkan untuk program minimalisasi jumlah korban. Salah
satunya dalam bentuk sosialisasi dan edukasi kebencanaan. Dalam beberapa tahun
terakhir, kurikulum bencana mulai diperkenalkan di sekolah-sekolah. Sayang,
kegiatan ini belum berjalan secara intensif dan masif. Tidak semua sekolah
mampu dan mau menyelenggarakannya meski bersifat on off. Padahal, bencana bisa terjadi kapan dan di mana saja. Dalam konteks ini, pelibatan perempuan secara aktif
dalam sosialisasi dan edukasi kebencanaan bisa menjadi akselerator terciptanya
masyarakat siaga bencana. Peran strategis perempuan memungkinkannya untuk
menjalin rantai sosialisasi dan edukasi yang bisa menjangkau banyak komponen
masyarakat. Apalagi, selain anak-anak, perempuan termasuk kelompok masyarakat
yang paling rentan terhadap bencana.
Memaksimalkan Edukasi dan Sosialisasi
Ketidaksiapan menghadapi bencana seringkali harus
kita bayar dengan korban jiwa dan harta dalam jumlah yang sangat besar. Tak
hanya sampai di sini, ketidaksiapan terhadap bencana juga bisa berdampak luas
pada aspek ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Hilang atau rusaknya sumber
ekonomi masyarakat, tatanan social dan budaya akibat bencana bisa menimbulkan persoalan
yang kompleks di kemudian hari. Rehabilitasinya membutuhkan waktu lama yang
tidak mudah dan murah. Dalam konteks ini, edukasi dan sosialisasi kebencanaan
merupakan pondasi utama bagi upaya membangun manajemen resiko bencana yang
kokoh. Perempuan dan anak-anak sebagai kelompok masyarakat yang paling beresiko
patut menjadi prioritas utama.
Edukasi dan sosialisasi kebencanaan bagi
perempuan sebenarnya relatif mudah dan memiliki banyak sarana alternative yang
tidak hanya potensial namun juga kreatif. Komunitas perempuan yang jumlahnya
lebih banyak dan sifatnya lebih intens dari komunitas laki-laki, bisa menjadi
sarana sosialisasi dan edukasi kebencanaan yang efektif bagi perempuan. Sebut
saja misalnya, Dasawisma, PKK, bahkan kelompok pengajian dan arisan. Agar bisa
terealisasi dan berjalan efektif, harus ada motivasi dan keterlibatan
pemerintah atau pihak yang kompeten dalam masalah ini. Meski ini tidak mudah,
kaum perempuan harus diberi pemahaman yang cukup tentang resiko mereka dalam
bencana dan potensi bencana yang sangat besar di negara kita. Perempuan juga
harus dimotivasi untuk aktif mencari dan membekali diri dengan informasi
kebencanaan yang memadai.
Edukasi dan sosialisasi kebencanaan juga
bisa disinergiskan dengan program kredit mikro khususnya yang diperuntukkan
bagi perempuan. Sebagaimana diketahui, kehadiran kredit mikro di masyarakat
tidak hanya berarti secara ekonomi namun juga bisa menjadi sarana pemberdayaan
sekaligus sharing pengetahuan tentang banyak hal termasuk hal-hal terkait
dengan kebencanaan. Kehadiran teknologi informasi khususnya internet juga bisa
mengakselerasi sosialisasi dan edukasi kebencanaan bagi perempuan. Apalagi,
jumlah perempuan pengguna internet terus mengalami kenaikan yang pesat dalam
beberapa tahun terakhir. Dengan teknologi, secara mandiri perempuan dapat
mengedukasi dirinya melalui informasi kebencanaan yang bisa diakses sebanyak
mungkin. Kecenderungan perempuan untuk berbagi informasi melalui blog dan
jejaring social semakin memberi nilai tambah yang signifikan. Melalui catatan
singkat baik di blog maupun jejaring pertemanan dan citizen journalism,
perempuan bisa memotivasi, mensosialisasi dan mengedukasi kaumnya bahkan
masyarakat untuk lebih siap dan tanggap terhadap bencana.
Dengan mengetahui dan mengenali tanda/gejala
bencana yang mungkin dideteksi seperti tsunami pasca gempa dan gunung meletus,
kaum perempuan bisa mengantisipasi dan meminimalisir resikonya menjadi korban.
Menguasai cara dan upaya menyelamatkan diri bisa menjadi bekal bagi mereka saat
benar-benar terjebak dalam bencana. Tidak hanya bagaimana menyelamatkan diri
sendiri namun juga bagaimana mengupayakan penyelamatan orang-orang terdekatnya
terutama anak-anak dan orang tua. Dengan informasi dan pengetahuan kebencanaan
yang dimilikinya, kaum perempuan terutama ibu juga bisa menjadi mentor
kebencanaan bagi anak-anak dan kerabat terdekatnya. Ini akan sangat membantu
pemerintah dalam rangka mewujudkan masyarakat siaga bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar