![]() |
Sumber Foto : dari sini |
Mengacu pada khazanah Jawa, konco wingking dalam arti pembagian secara jenis kelamin berarti pasangan suami/bapak yang peranannya di dapur. Secara lebih rinci, tiga tugas utama konco wingking adalah manak, masak, macak (3 m), atau kasur, dapur, sumur (3 ur). Lebih lanjut,Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan bahwa perempuan mempunyai lima fungsi, yakni sebagai penerus keturunan dan pembina generasi masa depan bangsa; sebagai ibu dan pendidik anak-anaknya; sebagai pengelola rumah tangga dan pekerja untuk menambah penghasilan keluarga; serta sebagai anggota masyarakat.Pemerintah kemudian menciptakan pelembagaan “istri” melalui berbagai kebijakan, di antaranya melalui Panca Dharma Wanita yang dipromosikan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) sampai ke tingkat akar rumput.
Doktrin
dan ideologi inilah yang kemudian memberi andil besar dalam mereduksi
makna peringatan hari Ibu setiap tanggal 22 Desember. Hari Ibu semula
kita peringati untuk mengenang gerakan kaum perempuan menjadi peringatan
untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih serta memuji ke-ibu-an
para ibu. Dalam konteks ini, gerakan peran perempuan diranah publik
menjadi termarjinalkan sehingga peran perempuan kemudian identik dengan
ranah domestik (rumah tangga). Doktrin yang berlangsung selama kurang
lebih tiga dekade tersebut membawa sejumlah konsekuensi yang serius
terhadap peran, kontribusi dan problematika yang melilit kehidupan kaum
perempuan Indonesia. Seperti, rendahnya nilai IPG (Indeks Pembangunan
Gender), tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan, rendahnya
kesejahteraan perempuan, dan dalam banyak aspek kehidupan di mana
seharusnya perempuan berperan optimal, kehadiran dan kontribusi
perempuan justru masih sangat minimal. Dampaknya kemudian sangat jelas.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia relatif stagnan bahkan
mengalami penurunan peringkat dari posisi 109 pada tahun 2010 menjadi
124 pada tahun 2011. Indonesia juga terancam menjadi salah satu negara
yang gagal menyukseskan program Millenium Development Goals (MDGs) di
mana banyak programnya seharusnya melibatkan peran aktif perempuan.
Ibu-isme di Masa Sekarang : Penindasan atau Pembebasan?
Dalam
beberapa waktu terakhir ada indikasi gerakan ibu-isme di Indonesia
kembali menguat. Salah satunya ditandai dengan semakin meningkatnya tren
di kalangan perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga dengan segenap
peran keibuannya. Tren ini sebenarnya tidak saja berkembang di
Indonesia. Sejak lama back to home juga telah menjadi tren di sejumlah
negara maju. Jepang misalnya.
Banyak
perempuan Jepang kembali ke rumah dan konsen mengurus keluarga. Mereka
sadar bahwa kodrat mereka adalah di rumah dan yakin bahwa itu bisa
memberi sumbangsih besar bagi kemajuan negara. Terbukti, Jepang kemudian
menjelma menjadi salah satu negara maju dengan kualitas SDM terbaik di
dunia. Di Eropa, tren yang sama juga semakin menguat. Dari sejumlah
fakta ini, hampir tidak mungkin untuk mengatakan bahwa gerakan ibu-isme
yang juga semakin menguat di Indonesia dinilai sebagai kemunduran bagi
kaum perempuan.
Menjadi
ibu dengan segala atribut dan tanggung jawab keibuannya adalah kodrat
perempuan. Jika hal-hal yang kodrati ini dipolitisasi melalui sejumlah
doktrin dan konstruksi yang sifatnya “memaksa” dan kemudian berdampak
pada pengabaian hak-hak asasi perempuan lainnya, maka ini benar-benar
sebuah penindasan yang sangat nyata. Namun jika perempuan memilihnya
dengan sadar, menyadari eksistensi, kontribusi dan konsekuensi dari
pilihannya, maka dalam konteks ini gerakan ibu-isme merupakan sebuah
gerakan pembebasan yang sangat nyata pula bagi kaum perempuan. Ibu-isme
adalah cara bagi perempuan untuk membebaskan dirinya dari penindasan
kapital yang memperlakukannya sebagai ’sapi perah’ dalam dunia
materialisme saat ini.
# Artikel telah dimuat di Rubrik Opini Radar Surabaya, 22 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar