Pemerintah
tak perlu menunggu lama untuk membuktikan kesungguhannya dalam
menindaklanjuti ratifikasi Konvensi Buruh Migran Tahun 1990 tentang
Perlindungan Pekerja Migran dan Keluarganya yang diputus DPR, 12 April
lalu. Hanya berselang beberapa hari setelahnya, kasus tiga tenaga kerja
Indonesia (TKI) asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang tewas ditembak
Polisi Diraja Malaysia di kawasan Port Dickinson, Negara Bagian Negeri
Sembilan, menjadi 'PR' pertama yang harus dituntaskan pemerintah.
Kasus tiga TKI tersebut begitu menarik perhatian publik tidak hanya
karena mencuat hampir bersamaan dengan ratifikasi konvensi PBB, namun
juga bertepatan dengan pencabutan moratorium pengiriman TKI ke Malaysia.
Sempat berkembang pula dugaan telah terjadi penjualan organ tubuh
ketiga TKI asal NTB tersebut. Meski pada akhirnya hasil otopsi ulang
menyatakan dugaan itu tidak terbukti, sejumlah 'PR' besar masalah TKI
lainnya siap menanti. Termasuk, laporan terakhir KBRI di Kualalumpur
bahwa tercatat 24 TKI terancam hukuman mati di Malaysia. (SKO, 4 Juni
2012)
Dalam kancah internasional, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara
yang sangat rajin meratifikasi konvensi internasional terutama yang
terkait dengan perlindungan hak asasi manusia (HAM) namun tidak untuk
Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Pekerja Migran dan
Keluarganya. Terhadap konvensi yang dianggap sebagai perlindungan hukum
minimal bagi pekerja migran internasional ini, Indonesia terbilang
sangat lamban. Yakni, berselang sekitar 90 bulan sejak turut
menandatanganinya, 22 September 2004 lalu.
Kelambanan pemerintah meratifikasi konvensi tersebut telah berdampak
signifikan terhadap kehidupan para TKI. Banyak persoalan melilit mereka
sejak proses rekruitmen di dalam negeri, pengiriman, selama bekerja di
negara tujuan bahkan hingga kembali ke Tanah Air. Seperti sebuah
lingkaran setan. Kondisi ini kian diperparah oleh rendahnya posisi tawar
Pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan hak-hak dan perlindungan yang
lebih optimal terhadap TKI di kancah internasional. Akibatnya, banyak
kasus yang menimpa TKI tidak dapat terselesaikan dengan tuntas.
Dampak lain yang tak kalah signifikan adalah rendahnya posisi tawar
para TKI kita sehingga kurang bersaing dengan pekerja migran dari negara
yang telah meratifikasi konvensi tersebut. Filipina, misalnya. Dengan
kualifikasi pekerjaan yang sama, gaji dan fasilitas yang diterima TKI
umumnya lebih rendah dari pekerja migran Filipina. Kasus yang menimpa
mereka juga relatif lebih sedikit.
Atas dasar sejumlah fakta di atas, ratifikasi konvensi buruh migran
dianggap sebagai fondasi utama untuk menyelenggarakan pengelolaan dan
perlindungan yang lebih baik bagi para pekerja migran dan keluarganya.
Ratifikasi tersebut diharapkan akan membantu pemerintah menghindari
kebijakan-kebijakan yang cenderung parsial, sporadis, sektoral dan
reaktif.
Sejumlah alasan lain yang menganggap ratifikasi sangat penting, antara
lain: memosisikan tenaga kerja migran sebagai makhluk sosial yang
memiliki keluarga dan hak-haknya sebagai manusia, memasukkan semua
kategori tenaga kerja migran termasuk tenaga kerja migran tak
berdokumen, mencegah dan membatasi eksploitasi tenaga kerja migran
termasuk menghentikan kegiatan-kegiatan ilegal seperti perdagangan
manusia, menciptakan standar minimum bagi perlindungan hak-hak tenaga
kerja migran yang diterima secara universal.
Konvensi tersebut juga merupakan hukum perjanjian internasional yang
memiliki posisi hukum yang diterima oleh komunitas internasional. Dengan
ratifikasi itu pula pemerintah bisa melakukan harmonisasi semua
peraturan perundang-undangan nasional yang ada sehingga struktur dan
kelembagaan yang memperkuat perlindungan TKI akan lebih terjamin.
Lamban
Ratifikasi memiliki arti sangat penting tapi tidak cukup untuk
menuntaskan semua kompleksitas problematika TKI. Di sisi lain, meski
dikenal sebagai negara yang cukup aktif meratifikasi berbagai konvensi
internasional, namun dalam tataran implementasinya Indonesia terbilang
lamban bahkan jauh dari yang diharapkan.
Kita semua tentu sangat berharap agar ratifikasi konvensi buruh migran
ini tidak hanya menjadi seperti macan ompong mengingat kompleksnya
persoalan yang dihadapi oleh pekerja migran kita. Sejumlah TKI tengah
bersiap menghadapi hukuman mati di sejumlah negara. Banyak pula kasus
TKI yang belum tuntas seperti masalah gaji yang belum dibayar. Tak
sedikit pula TKI yang tak jelas nasibnya selama bertahun-tahun.
Ratifikasi seharusnya menjadi taring perlindungan bagi para TKI agar
terhindar dari berbagai tindak merugikan baik di dalam maupun di luar
negeri. Untuk itu, ratifikasi harus ditindaklanjuti dengan serangkaian
langkah konkrit yang melibatkan semua komponen masyarakat dan negara.
Hal paling mendesak yang harus segera dilakukan adalah melakukan
perjanjian bilateral dengan negara-negara tujuan utama dalam rangka
meningkatkan perlindungan dan posisi tawar TKI kita. Perjanjian
bilateral ini sangat penting mengingat konvensi buruh migran hanya
mengakomodir persoalan-persoalan yang bersifat universal sehingga perlu
diperkuat dengan perjanjian bilateral yang mengakomodir berbagai
persoalan yang bersifat lebih detil dan spesifik antara dua negara.
Upaya menghapus TKI informal terutama pekerja rumah tangga (PRT) juga
harus dipercepat dan diantisipasi dengan baik. Masyarakat harus diberi
banyak akses terutama modal agar memiliki banyak pilihan untuk
meningkatkan taraf hidupnya tanpa harus bekerja sebagai TKI. Akses
terhadap pendidikan juga tak kalah penting agar daya saing SDM kita
semakin diperhitungkan di kancah global sehingga TKI tidak lagi identik
dengan PRT dan pekerja informal lainnya. ***
Tulisan telah dimuat di Rubrik Opini Suara Karya, edisi 5 Juni 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar