![]() |
Sumber Foto : National Geographic |
Sebagai salah satu negara pengimpor
gula terbesar di dunia dengan tingkat konsumsi yang terus mengalami kenaikan
dari waktu ke waktu, sudah saatnya komitmen untuk mewujudkan swasembada gula
semakin diseriusi. Dalam jangka panjang, tentu kita berharap bahwa produksi
gula nasional tidak hanya mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri namun juga
sekaligus mengubah posisi Indonesia dari yang semula sebagai salah satu negara
pengimpor gula terbanyak menjadi negara pengekspor gula yang utama di dunia.
Pertanyaannya, mungkinkah harapan ini bisa terwujud? Terdapat sejumlah fakta
dan alasan logis untuk menjawab pertanyaan ini dengan sangat optimis.
Pertama, ditilik
dari aspek sejarah, industri gula termasuk industri tertua di Indonesia yang
telah berlangsung sejak masa kolonial Belanda dan berhasil menorehkan tinta
emas untuk Indonesia. Yakni dengan mengantarkan Indonesia sebagai salah satu
pengekspor utama gula dunia. Periode emas ini berlangsung antara tahun 1928-1931
dengan jumlah produksi mencapai 3 juta ton gula yang
dihasilkan oleh 179 Pabrik Gula (PG). Areal industri gula saat itu mencapai 200
ribu ha dengan tingkat produksi gula sebanyak 15 ton/ha. Dengan pencapaian ini,
Indonesia menjadi negara pengekspor gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba dan jauh
meninggalkan negara-negara produsen gula lainnya seperti Australia, Brazilia,
China, dan Philipina. Bisa
dibayangkan betapa spektakulernya pencapaian tersebut. Dengan teknologi yang
bisa dibilang masih sederhana, juga dukungan riset dan ilmu pengetahuan yang
tidak semaju sekarang, Indonesia mampu memproduksi gula jauh di atas kebutuhan
dalam negeri saat itu. Dengan berbagai sarana dan prasarana yang jauh lebih
lengkap seperti sekarang, mengulang kembali masa kejayaan itu tentu sangat
mungkin.
![]() |
Salah Satu Pabrik Gula di masa penjajahan Belanda, sumber foto bloggerpurworejo.com |
Kedua,
kebutuhan dalam negeri yang terus meningkat dan potensi pasar dunia yang masih
cukup prospektif. Seiring dengan pertambahan populasi penduduk, kebutuhan gula
dalam negeri diperkirakan juga akan terus meningkat. Diperkirakan, rata-rata
konsumsi gula penduduk Indonesia saat ini adalah 12 kg per tahun. Meski
mengalami kenaikan rata-rata 3,87 % setiap tahunnya, tingkat konsumsi gula masyarakat
Indonesia sebenarnya masih di bawah rata-rata konsumsi gula penduduk Asia yang
mencapai 25kg/orang/tahun. Sementara itu rata-rata konsumsi gula
masyarakat di negara maju umumnya berkisar antara 30-55 kg/orang/tahun).
Meski mengalami peningkatan konsumsi yang cukup signifikan dan pertambahan
jumlah penduduk yang juga relatif besar, produksi gula dalam negeri justru tidak
memiliki eskalasi pertumbuhan dan penambahan yang memadai. Akibatnya, diperkirakan terjadi
kesenjangan sekitar 32 persen antara tingkat produksi dan konsumsi gula dalam
negeri. Sehingga, sebagaimana kebutuhan pokok lain pada umumnya, impor adalah solusi yang
digunakan untuk menjembatani kesenjangan ini. Kesenjangan yang terus menerus dan tidak berkesudahan
membuat Indonesia menempati peringkat ketiga negara pengimpor gula terbesar di
dunia setelah Rusia dan India. Terus bergantung pada impor jelas memiliki
banyak dampak negatif. Selain akan terus membebani anggaran negara, kemandirian
bangsa juga akan sulit dicapai jika kita masih terus bergantung pada luar
negeri apalagi untuk jenis kebutuhan pokok yang permintaannya terus meningkat dari
waktu ke waktu seperti gula.
Pentingnya mencapai swasembada gula
juga didorong oleh potensi pasar dunia yang masih cukup besar meski sejumlah
negara maju cenderung mengurangi impor gula mereka. Banyak negara maju terus mengurangi impor gula dalam jumlah yang cukup signifikan dari semula
sekitar 80 persen pada tahun 1970 menjadi sekitar 40 persen pada tahun 2000.
Tren penurunan ini terjadi karena banyak negara maju yang berupaya memenuhi
sendiri kebutuhan gula dengan meningkatkan produksi gula dalam negeri. Tren
penurunan ini juga dipengaruhi oleh kecenderungan pengurangan konsumsi gula per
kapita masyarakat di negara maju. Data menunjukkan bahwa konsumsi gula negara
maju sudah berkurang dengan laju -1.2 persen pada periode 1980-an dan -0.1
persen pada 1990-an (Mitchell, 2004).
Berkebalikan dengan tren di negara maju,
konsumsi gula masyarakat di negara berkembang justru mengalami kenaikan yang signifikan yakni
sekitar 2.6 persen, selama dekade 90-an. Kenaikan konsumsi ini jelas berdampak
pada peningkatan impor gula mereka. Dari yang semula sekitar 20 juta ton pada
tahun 1970 menjadi hampir 40 juta ton pada tahun 2000 atau meningkat sebesar
100 persen. Ini merupakan potensi pasar sangat potensial yang bisa dimanfaatkan
oleh Indonesia setelah mencapai swasembada gula.
Ketiga, industri
gula memiliki multiplier effect
(dampak pengganda) yang sangat luar biasa. Sebagaimana diketahui, industri gula
merupakan salah satu industri yang memiliki multiplier
effect luar biasa. Seperti, menyerap banyak tenaga kerja, meningkatkan
pendapatan masyarakat, juga bisa menjadi stimulus bagi pembangunan dan
pendapatan ekonomi lokal. Selain itu, industri gula juga berkontribusi besar
dalam pembayaran pajak dan retribusi. Di tengah kondisi masyarakat dan bangsa
yang tengah berupaya untuk bangkit seperti saat ini, hadirnya sebuah industri
yang memiliki multiplier effect luar
biasa tentu perlu dioptimalkan agar kontribusinya juga semakin besar dalam
mengakselerasi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara.
Keempat, kemajuan
industri gula nasional yang cukup menggembirakan dalam beberapa waktu terakhir.
Setelah sempat terpuruk dalam jangka waktu yang lama, industri gula nasional
kembali bergairah dan terus menunjukkan kemajuan yang cukup positif. Sebagaimana
diketahui, setelah mencapai masa puncak produksi di sepanjang sejarah pergulaan
tanah air pada periode 1928-1931, industri gula Indonesia terus mengalami
fluktuasi hingga kondisinya kemudian menjadi terbalik.
Tercatat
sejak tahun 1967, Indonesia yang semula merupakan negara pengekspor berubah menjadi
negara pengimpor gula. Hanya pada tahun 1984-1985 Indonesia berhasil mencapai swasembada
gula. Selebihnya Indonesia harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan gula dalam
negeri. Bahkan sejak tahun 1998, Indonesia masuk dalam jajaran lima negara
pengimpor gula terbesar di dunia. Ini terjadi karena hingga tahun 2011
(kecuali 2008 dan 2009), produksi rata-rata gula di Indonesia maksimal hanya mencapai
sekitar 2,2 juta ton/tahun padahal konsumsi gula dalam negeri mencapai hampir dua kali lipatnya. Jumlah yang tak imbang ini tak hanya memaksa Indonesia harus
mengimpor gula, namun juga membuat Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara
produsen gula yang sebelumnya posisinya jauh di bawah Indonesia seperti
Brazilia yang produksi gulanya kini mencapai 29 juta ton, India 14
juta ton, China 11 juta ton, Australia 5,5 juta ton
dan Thailand 5 juta ton.
Namun, kondisi buruk ini perlahan
mulai menunjukkan indikasi perbaikan yang cukup menggembirakan. Terjadi
kenaikan produksi gula nasional secara cukup signifikan dari maksimal hanya
sekitar 2,2 juta ton dalam sepuluh tahun terakhir menjadi menjadi 2,5 juta ton
pada tahun 2012. Jumlah yang sama juga berhasil dicapai pada tahun 2008 dan
2009. Menariknya lagi, pencapaian pada tahun 2012 ini juga disertai dengan
akselerasi kinerja hampir semua BUMN yang terlibat dalam bidang pergulaan.
Bahkan, sejumlah BUMN yang semula merugi juga turut mencatatkan prestasi dan
kontribusi terhadap pergulaan nasional. Sebuah indikasi yang menggembirakan
sekaligus menguatkan harapan bagi kebangkitan kembali kejayaan industri gula di
tanah air. Meski demikian, perjalanan dan perjuangan masih panjang.
PTPN
X sebagai Leader sekaligus Role Model
Agar gerbong harapan yang kita cita-citakan bersama yakni
swasembada gula sekaligus negara pengekspor utama gula dunia bisa berjalan
lebih terarah dan optimal, harus ada yang menjadi lokomotif dalam melakukan
sejumlah inisiasi dan terobosan sekaligus role
model bagi yang lain. Dalam konteks ini, berdasarkan pencapaian prestasi,
konsistensi dan inovasi, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X layak disebut sebagai
leader sekaligus role model dalam industri gula nasional.
Ada sejumlah indikasi yang menguatkan. Di antaranya, PTPN X
tercatat sebagai BUMN gula terbesar di Indonesia yang pada tahun 2012 lalu berkontribusi
sekitar 19 persen terhadap total produksi gula nasional yakni dengan produksi sebanyak
493.000 ton. Jumlah ini mengalami kenaikan sekitar 8,12 persen dari tahun 2011.
Rendemen atau kadar gula dalam tebu perusahaan gula di PTPN X juga termasuk
yang terbaik yakni mencapai 8,14 persen.
Tak hanya berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan gula nasional, PTPN
X yang memiliki sebelas PG di Jawa Timur ini juga telah berkontribusi cukup
baik terhadap pembangunan ekonomi masyarakat dan daerah. Sedikitnya ada 71.691
petani tebu di lingkungan PG-PG milik PTPN X dan sekitar 12.000 karyawan PTPN X
yang mayoritas berasal dari penduduk setempat. Selain itu, masih terdapat ratusan
ribu tenaga kerja penunjang lain seperti tenaga tebang, sopir truk pengangkut
tebu, penjual makanan dan sebagainya, yang juga merasakan manfaat dan nilai
tambah bagi usahanya dengan keberadaan dan usaha yang dijalankan oleh PTPN X.
Peningkatan
nilai tambah bagi masyarakat di daerah di antaranya diwujudkan melalui Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang ditujukan untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya petani tebu sebagai mitra
utama dan masyarakat luas pada umumnya. Sejumlah
kegiatan yang rutin dilakukan oleh PTPN X antara lain pelatihan dan studi
banding ke negara yang sukses mengembangkan industri gula. Selain penguatan
petani tebu, PTPN X juga ambil bagian dalam upaya meningkatkan kesejahteraan
sosial masyarakat melalui pemberian beasiswa pendidikan, pembangunan sarana
ibadah, dan dukungan dalam berbagai kegiatan positif di masyarakat. Sebagai
BUMN, PTPN X juga secara rutin menyerahkan dividen kepada negara yang dananya
kemudian digunakan untuk program-program pembangunan yang digerakkan
pemerintah.
Selain menjadi yang terbaik dalam hal jumlah dan persentase
pertumbuhan serta berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi masyarakat dan
daerah, PTPN X juga termasuk BUMN pionir yang melakukan sejumlah terobosan dan
inovasi di bidang pergulaan seperti dalam hal riset terpadu budidaya tebu
melalui metode bud chips yang bisa
memacu produktivitas tebu sehingga bisa membantu petani meningkatkan
produktivitasnya. Selain itu, PTPN X juga merupakan perusahaan pergulaan pertama di
Indonesia yang memulai program diversifikasi dengan serius. Diversifikasi
produk sebenarnya telah sejak lama menjadi tren pabrik-pabrik gula di Brasil,
India, dan Thailand, namun masih relatif baru bahkan langka di Indonesia.
Diversifikasi
produk sangat penting untuk meningkatkan nilai tambah persuahaan sekaligus mengurangi
risiko produksi di bisnis tebu. Untuk itu, PTPN X mendorong PG-PG yang berada di
bawah naungannya untuk melakukan diversifikasi produk seperti mengolah ampas
tebu menjadi listrik dan tetes tebu menjadi bioetanol. PG Ngadiredjo (Kediri) misalnya,
sudah memulai program co-generation dengan produksi listrik 2 MW. Program
co-generation yang mengolah ampas tebu menjadi listrik ini juga akan dimulai di
sejumlah PG milik PTPN X lain seperti PG Pesantren Baru (Kediri). Sementara itu,
PG Gempolkrep (Mojokerto) akan merampungkan pembangunan pabrik bioetanol pada
2013 yang akan menghasilkan fuel grade ethanol 99 persen yang sangat ramah
lingkungan.
Terobosan lain yang juga dilakukan PTPN X adalah melakukan studi
pembangunan terintegrasi di Pulau Madura yang diharapkan nantinya dapat menjadi
industri
berbasis tebu yang terintegrasi dari hulu ke hilir (integrated sugarcane industry). Aspek lain yang juga mulai dijajaki
oleh PTPN X adalah mengembangkan wisata sejara pabrik gula. Tidak hanya untuk mengedukasi
masyarakat terutama generasi muda tentang urgensi dan sejarah industri gula di
Indonesia namun juga sebagai ujung tombak promosi wisata dan pemasaran industri
gula Indonesia kepada dunia.
Sejumlah pencapaian dan terobosan yang
dilakukan oleh PTPN X di atas memang cukup untuk menasbihkan dirinya sebagai
pemain utama dalam industri gula nasional. Meski demikian, terdapat sejumlah
tantangan, tanggung jawab serta peran lain yang masih harus dilakukan dan
diantisipasi oleh PTPN X untuk lebih mengukuhkan dirinya sebagai leader sekaligus role model dalam bidang pergulaan di tanah air.
Tantangan dan Peluang
Sebagaimana BUMN lain yang bergerak di bidang pergulaan, PTPN X
juga menghadapi sejumlah masalah klasik yang sama. Salah satu di antaranya
adalah problem pasokan tebu. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi jika PTPN X
bisa melakukan ekstensifikasi atau penambahan lahan. Luas lahan tebu di
lingkungan PTPN X saat ini mencapai 72.124 hektar dengan produktivitas sekitar 84,2
ton tebu per hektar. Dalam waktu dekat PTPN X menargetkan penambahan lahan tebu
menjadi 76.000 hektar sehingga produksi gula ditargetkan meningkat menjadi
538.000 ton. Masalahnya kemudian, penambahan lahan sulit dilakukan mengingat hasil
yang didapat dari sektor lain seperti properti jauh lebih menguntungkan. Dalam konteks
ini, selain melakukan ekstensifikasi secara langsung di sejumlah wilayah, upaya
meningkatkan pasokan tebu juga bisa dilakukan dengan lebih mengoptimalkan program
kemitraan dengan petani baik secara kuantitas maupun kualitas, sehingga pasokan
tebu dari petani bisa ditingkatkan.
Selain masalah pasokan tebu, problem lain yang juga dihadapi oleh
PTPN X untuk terus menjadi yang terdepan dalam mengembangkan inovasi produk dan
manajemen adalah keterbatasan SDM dan anggaran. Problem SDM dapat diantisipasi
dengan melakukan kerjasama yang lebih intens dengan lembaga pendidikan yang
terkait. Ini merupakan sebuah aliansi strategis yang saling menguntungkan. Untuk
masalah anggaran, dapat diupayakan melalui optimalisasi diversifikasi produk
yang telah dimulai sejak beberapa waktu lalu. Jika Integrated
sugarcane industry nantinya terealisasi dan berjalan dengan baik, kehadirannya tentu
akan semakin meningkatkan produktivitas dan nilai tambah perusahaan. Kerjasama
dengan pihak ketiga juga menjadi cara lain yang cukup potensial.
Akhir kata, dengan penuh semangat dan optimisme, mari kita
songsong kebangkitan kembali industri gula di tanah air.
hidup gula lokal :)
BalasHapuskalau perlu semua bahan makanan pokok sebaiknya serba lokal Mbak Hana, untuk menaikkan taraf hidup petani :)
Hapus