![]() |
Sumber Foto : Web GP Ansor |
Kurang berkembangnya semangat entrepreneur
di Indonesia dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Salah satunya,
pemahaman yang sempit mengenai makna entrepreneur itu sendiri.
Entrepreneur seringkali diartikan sebagai pedagang. Padahal,
entrepreneur memiliki pengertian yang luas sebagai semangat kreatif,
inovatif, mandiri, berani mengambil risiko dan bersaing. Dengan begitu,
spirit entrepreneur tidak mutlak hanya untuk kalangan pebisnis namun
dapat diaplikasikan secara luas di segala bidang. Ada istilah
intrapreneur sebagai entrepreneur dari para profesional di perusahaan;
sociopreneur yakni entrepreneur di bidang pemberdayaan masyarakat; ada
juga birokrat entrepreneur yakni entrepreneur yang mengubah sistem kerja
birokrasi menjadi automatikrasi.
Di sejumlah negara seperti Amerika Serikat,
sejak hampir tiga dekade lalu, pendidikan entrepreneurship telah
diberikan sejak Taman Kanak-kanak. Sedangkan di Indonesia,
entrepreneurship masih menjadi pendidikan eksklusif. Baru ada pada
jenjang pendidikan pasca sarjana di Universitas Gadjah Mada dan Sekolah
Ciputra mulai jenjang Taman Kanak-kanak hingga perguruan tingginya.
Biaya yang mahal untuk kedua lembaga pendidikan ini, membuat masih
segelintir orang yang bisa menikmatinya.
Tanpa mengenyampingkan pentingnya pendidikan
entrepreneurship bagi seluruh jenjang dan lembaga pendidikan, pesantren
memiliki beberapa nilai strategis untuk diprioritaskan sebagai
entrepreneur school di Indonesia. Alasan pertama, pesantren
adalah potensi besar yang dapat kita harapkan menjadi salah satu
“produsen” utama pencetak SDM unggul dan berdaya saing tinggi. Kedua,
seiring dengan maraknya isu terorisme, pesantren acapkali dianggap
sebagai ‘pencetak teroris’. Ini sungguh tidak adil, tidak hanya kepada
Indonesia yang memiliki ribuan pesantren, namun juga bagi komunitas
pesantren itu sendiri. Tidak karena nila setitik, susu rusak sebelanga.
Bagaimanapun, mereka bagian dari Indonesia yang utuh. Memiliki hak dan
kewajiban yang sama untuk mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang
besar di kemudian hari dengan melahirkan SDM-SDM yang unggul dan berdaya
saing tinggi.
Potensi besar pesantren tidak hanya dari
aspek sejarahnya sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan
memiliki ciri ke-Indonesiaan yang khas. Dari tahun ke tahun jumlahnyapun
terus bertambah secara signifikan. Berdasarkan data Departemen Agama,
pada 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 dengan jumlah santri sekitar
677.384 orang. Pada tahun 1981, tercatat ada sekitar 5.661 pesantren
dengan 938.397 orang santri. Pada tahun 1985 jumlah pesantren terus
mengalami kenaikan menjadi 6.239 dengan jumlah santri mencapai sekitar
1.084.801 orang. Sementara pada tahun 1997 Departemen Agama sudah
mencatat 9.388 buah pesantren dengan santri sebanyak 1.770.768 orang.
Hingga 2007, jumlah pesantren mencapai 14.647 dengan jumlah santri
3.289.141. Sayangnya, eksistensi dan kontribusi pesantren masih belum
optimal, masih dianggap sebelah mata, seperti dianaktirikan.
Pendidikan di pesantren umumnya lebih
memprioritaskan materi tentang agama dan akhlak namun minus keahlian
baik hardskill maupun softskill.
Akibatnya, lulusan pesantren yang jumlahnya cukup signifikan seringkali
menjadi gagap saat terjun ke masyarakat. Sulit mencari kerja dan
kalaupun bekerja, mayoritas dari mereka menjadi pekerja tidak
profesional. Seperti menjadi pedagang biasa di pasar-pasar tradisional.
Tidak sedikit pula yang menganggur. Padahal biaya dan waktu yang mereka
habiskan untuk menuntut ilmu di ponpes tidak sedikit. Bisa hingga
belasan tahun atau hampir sama dengan mereka yang mengenyam pendidikan
formal hingga lulus dari perguruan tinggi. Padahal, seperti yang lain,
para santripun akan menghadapi tantangan yang tak kalah kompleksnya di
era persaingan global.
Pendidikan entrepreneurship menjadi salah
satu langkah konkrit untuk lebih memberdayakan pesantren. Selain
semangat kemandirian yang sudah menjadi ciri khasnya, penting pula
mengajarkan berbagai keahlian dan semangat kewirausahaan kepada para
santri agar kelak setelah lulus mereka dapat meneruskan hidup dengan
bekerja secara profesional. Salah satu pesantren yang dapat dijadikan role model
dalam pengembangan pesantren sebagai entrepreneur school adalah
Pesantren Daruttauhid di Bandung, Jawa Barat. Di bawah asuhan Abdullah
Gymnastiar (Aa Gym), Daruttauhid berkembang sedemikian rupa dalam rangka
merespon perkembangan modernitas namun tetap eksis menyandang peran
tradisional pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam. Santrinya tidak
hanya dibekali dengan ilmu agama, namun juga beragam skill, semangat
entrepreneurship dan familiar dengan teknologi modern, khususnya bidang
informasi.
Secara umum, sistem pendidikan pesantren
yang berbasis boarding (asrama/mondok), memiliki potensi besar untuk
dikembangkan sebagai leader school sekaligus entrepreneur school.
Tinggal menambahi dan menyatukan pola pendidikan dan kurikulum yang ada
dengan kurikulum kepemimpinan dan kewirausahaan. Beberapa pesantren yang
dikembangkan dengan pola pendidikan modern terbukti mampu melahirkan
SDM-SDM yang bersaing. Persoalannya kemudian, pesantren juga menghadapi
sejumlah kendala klasik yang sama dengan dunia pendidikan kita pada
umumnya. Keterbatasan anggaran dan tenaga pengajar profesional.
mantap
BalasHapusbagus info nya..
BalasHapusTerimakasih atas kunjungannya :)
BalasHapus