![]() |
Foto dari sini |
Anak jaman sekarang belajar lebih cepat dari zaman kita dulu. Memang sudah masanya karena menurut banyak pakar, anak-anak zaman sekarang khususnya yang masih balita, konon adalah generasi melek teknologi, brillian berinovasi dan punya ekstra suntikan energi yang pada masanya nanti akan tumbuh sebagai pekerja-pekerja berpengetahuan yang terspesialisasi (knowledge workers).
Salah satu bidang yang
telah masuk ke dalam keseharian anak-anak kita adalah teknologi. Seorang
teman di facebook bahkan pernah bercerita, anaknya yang baru berumur tiga
tahun sudah minta dibelikan Blackberry (BB).
Di masa keemasannya (golden
age = 0-4 tahun), anak memang belajar sangat pesat. Para ahli psikologi menyatakan bahwa masa usia dini (0-4 tahun) merupakan periode keemasan (golden age)
dalam proses perkembangan anak. Pada usia ini, anak-anak mengalami
lompatan kemajuan luar biasa baik secara fisiologis, psikis maupun
sosialnya, sehingga mereka sangat potensial untuk belajar apa saja. Pada
masa ini pula tidak kurang dari 100 miliar sel otak siap untuk
distimulasi agar kecerdasan seseorang dapat berkembang secara optimal di
kemudian hari.
Sementara itu menurut Dr. Benyamin S.Bloom dalam Stability and Change in Human Characteristics,
sekitar 50% potensi inteligensi anak sudah terbentuk pada usia 4 tahun
dan mencapai 80% saat berusia 8 tahun dari total kecerdasan yang akan
dicapai pada usia 18 tahun.
Lalu bagaimana anak belajar di masa keemasannya?
Pada masa ini anak lebih
banyak melihat apa yang terjadi di sekitarnya dalam kehidupan
sehari-hari. Meniru adalah salah proses belajarnya yang paling dominan.
Seperti yang terjadi pada anak teman saya sebagaimana saya ceritakan di
awal tadi. Si kecil meminta BB karena ia melihat Ayah Bundanya sangat
akrab dengan benda tersebut. Apa yang terjadi pada anak-anak saya juga
hampir sama. Bedanya, objeknya adalah ATM atau Anjungan Tunai Mandiri.
Naura belum genap satu
tahun ketika malam itu kami berempat (saya, suami, Sasha dan Naura)
pergi ke salah satu ATM untuk mengambil uang tunai. Dalam keadaan setengah mengantuk, Naura
dengan cekatan ikut memencet tombol angka di ATM ketika saya memasukkan
nomor PIN. Setelah itu tangan mungilnya berebut dengan tangan kakaknya
antri di depan bagian ATM yang mengeluarkan uang. Naura rupanya sudah
“ngeh” bahwa di sana tak lama lagi si mesin akan memberinya beberapa
lembar uang.
Sebagai keluarga kecil yang sudah
hidup terpisah dari orang tua dan tanpa pembantu, anak-anak sudah
terbiasa ikut hampir dalam setiap aktivitas kami sejak mereka masih bayi
dalam hitungan usia beberapa minggu. Sasha misalnya yang kini berusia
5,5 tahun, saat berusia dua minggu sudah saya ajak ke luar. Ke pasar
tradisional, ke swalayan ataupun melihat pameran. Semakin bertambah
usianya dan semakin normal kehidupan saya sebagai Ibu muda, semakin
sering saya membawanya dalam banyak aktivitas saya. Misalnya ke
perpustakaan atau mencari data yang kala itu terkadang harus ke warnet.
Pun ketika saya harus ke rumah sakit atau dokter di mana biasanya
anak-anak sebaiknya tidak diajak. Sebagaimana anak-anak pada umumnya,
Sasha juga seorang pembelajar cepat dan pengingat yang ulung. Dia masih
ingat rumah sakit atau dokter yang pernah kami kunjungi padahal ketika
itu usianya baru dua tahun. Dan tentu saja, sejak lama dia sudah hafal
bagaimana prosedur bertransaksi via ATM.
Jika Naura di usianya yang belum
genap satu tahun sudah hafal bagaimana ber-ATM ria, Sasha dengan logika
berpikirnya yang masih polos dan sederhana rupanya sudah membangun
persepsi sendiri tentang betapa baiknya mesin ajaib pemberi uang
tersebut. Menurutnya, ATM-lah tempat kita mencari dan mendapatkan uang
jika kita sedang tidak punya uang. Seperti sore itu ketika ia merengek
minta ke tempat bermain di sebuah pusat perbelanjaan.
“Mama tidak punya uang Mbak” kilah saya mencoba menghindar.
“Mama bawa ATM?” tanyanya cepat.
“Nggak. Memang kenapa?” saya masih belum paham.
“Kalau Mama nggak punya uang, ya ambil di ATM” Ohhh, baru saya paham.
Perlahan kemudian saya jelaskan
dengan bahasa yang semudah mungkin bisa dipahaminya bahwa untuk
mendapatkan uang kita harus bekerja, bukan semata pergi ke ATM. Dan
karena bekerja untuk mendapatkan uang itu tidak mudah, saya mengajaknya
untuk lebih menghargai papanya sebagai kepala keluarga yang harus
bekerja keras untuk memenuhi banyak kebutuhan dan permintaan keluarga
termasuk dirinya. Karena Ayahnya bekerja itulah maka kantor memberinya
uang yang dimasukkan ke tabungan sehingga kalau kita butuh uang, bisa
ambil di ATM. Kurang lebih begitu.
Supaya lebih paham, sesekali kami
ajak dia ke kantor tempat Ayahnya bekerja. Dan agar ia tidak berpikir
bahwa “bekerja” hanya di kantor, saya memperkenalkan pekerjaan-pekerjaan
lain padanya.
“Bapak becak itu juga bekerja untuk
mencari uang Sayang” jelas saya ketika kami melihat tukang becak yang
agak sepuh melintas di depan kami dengan kayuhan yang semakin lemah.
“Kasihan tidak?” tanya saya mengajaknya berempati. Dia hanya mengangguk.
Agar Sasha lebih menghargai nilai
uang dan bagaimana memperolehnya, saya juga mengajaknya “bekerja” untuk
bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Selain konsep One Wish Three
Jobs di mana untuk satu permintaan ia harus melakukan tiga hal terlebih
dahulu, hal lain yang juga harus dilakukannya adalah menabung. Selain
melatihnya berhemat juga bisa melatih kesabarannya atas apa yang
diinginkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar