![]() |
Sumber Foto : Kompasiana |
Sedikit berbeda dengan bacaan lain seperti buku dan majalah, koran
apalagi kalau kita berlangganan, akan cepat menggunung. Lalu apa yang
terbersit dalam pikiran kita ketika koran-koran itu semakin menyesakkan
rumah? Saya menyebut koran-koran itu dengan sebutan “Koran Kadaluarsa”. Karena keterbaruannya yang cepat berganti.
“Diloakkan saja Mbak, lumayan lho. Harganya Rp 2.500; per kilo” ini dia
komentar yang sering saya dengar dari orang-orang yang melihat tumpukan
koran di rumah saya.
Diloakkan???
Alhamdulillah tidak pernah terpikirkan. Bukannya tidak butuh
dan tidak menghargai uang. Saya juga sadar, perjalanan akhir dari
koran-koran itu biasanya memang menjadi bungkus cabai, bawang, mungkin
juga ikan pindang atau nasi kucing. Tapi saya ingin Koran-koran itu
melalui perjalanan yang lebih panjang, dan bermanfaat tentunya, sebelum
benar-benar diloakkan. Paling tidak, saya ingin menukarnya dengan
sesuatu yang lebih berharga dari nilai Rp 2.500; per kilogramnya. But
How?
Awalnya, ketika koran mulai menumpuk, saya menaruhnya di pagar rumah
supaya diambil oleh pemulung. Tapi bukan sembarang pemulung. Biasanya
Koran-koran itu baru saya taruh di pagar menjelang pemulung yang sudah
saya tandai akan datang. Pemulung yang saya prioritaskan adalah pemulung
perempuan yang sudah sepuh. Biasanya, mungkin karena kalah cepat dengan
pemulung laki-laki apalagi yang masih muda, pemulung perempuan yang
kadang sudah renta itu sering tidak mendapat apa-apa selain tempat
sampah yang sudah diacak-acak oleh pemulung lain atau kucing yang
mencari sisa-sisa tulang.
Melihat wajah semangat di wajah pemulung saat mendapati tumpukan Koran
rasanya jauh lebih berharga dari sejumlah uang jika Koran itu saya
loakkan. Bagi mereka, para pemulung itu, tumpukan Koran, kertas atau
benda-benda lain yang bisa jual kembali, tak ubahnya seperti menemukan
harta karun.
Tapi, beberapa bulan kemudian, Koran-koran itu tak lagi saya letakkan di
pagar. Dan para pemulung hampir tak pernah lagi menemukan “harta
karun”. Kemana Koran-koran itu?
Secara rutin saya membawa koran-koran itu ke dua desa yang berbeda, saya
berikan sebagai oleh-oleh utama ketika bersilaturahmi dengan kerabat di
sana. Oleh kerabat saya, sebagian koran itu di bawa ke sekolah
tempatnya mengajar. Lokasi sekolah yang cukup pelosok membuat
guru-gurunya ketinggalan informasi. Gaji yang konon hanya Rp 200 ribu
perbulan, tidak memungkinkan mereka untuk membeli koran. Cukup untuk
makan saja sudah sangat bersyukur. Ke sanalah akhirnya sebagian
koran-koran kadaluarsa saya transit sebelum melanjutkan perjalanannya ke
tukang loak.
Sebagian yang lain, menjadi santapan orang-orang desa yang haus
informasi. Mereka sebenarnya sangat butuh koran tapi harga sebuah koran
baru hampir sama dengan uang lauk pauk atau uang jajan anak mereka
sehari. Yang bisa mereka nikmati hanyalah televisi dengan sajian
sinetron tak bermutu hampir sepanjang waktu. Saat koran saya datang,
sejenak televisi dimatikan. Dan orang-orang desa yang sebagian buta
aksara itu, dari balita hingga lansia, mengerumuni koran yang sedang
dibaca oleh salah satu dari mereka yang bisa membaca. Pemandangan yang
sangat mengharukan.
Sebagian koran yang lain terus menumpuk di rumah kakek saya di desa.
Rumah kakek saya kemudian menjadi jujukan para tetangga yang ingin baca
koran selepas sholat Ashar. Sebagian dari mereka adalah buruh tani, kuli
bangunan atau tukang becak. Melihat mereka membaca koran kadaluarsa
saya, lagi-lagi ada perasaan bahagia yang tak terkatakan.
Alhamdulillah... LANJUTKAN!!!!!
BalasHapusIlmu yang bermanfaat akan menyelamatkan kita di dunia dan di akhirat..amiinn.
Aamiin... :)
Hapussaya tahu sekarang kenapa mba ririn sering menghilang :)
BalasHapusdan apakah jawaban yang kau dapat Mbak? :)
HapusMencerahkan
BalasHapusbaca artikelnya, jadi merinding saya,,, artikelnya sangat menginspirasi sekali,,
BalasHapus