 |
Sumber Foto dari sini |
Keberlanjutan
program merupakan salah satu masalah krusial dalam pembangunan saat ini
termasuk keberlanjutan program atau inisiatif yang berhasil menjadi
pemenang dan nominator dalam Indonesia MDGs Awards (IMA) 2011. Sebagian
besar program atau inisiatif dalam IMA 2011 masih dalam tahap embrionik
sehingga memerlukan kontinuitas selama beberapa tahun mendatang untuk
menjadi sebuah kegiatan yang sistemik. Sangat disayangkan jika setelah
MDGs Awards berakhir, program atau inisiatif yang telah ada tidak lagi
berjalan optimal apalagi sampai mandeg.
Para best practices dalam IMA 2011 telah diumumkan pada 1 Februari 2012
lalu. Ada dua kategori yang dikompetisikan dalam acara yang
diselenggarakan oleh Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs
(Millenium Development Goals) tersebut, yakni kategori umum dan khusus.
Kategori umum meliputi masalah nutrisi, kesehatan ibu dan anak, akses ke
air minum layak dan sanitasi sasar, HIV/AIDS dan penyakit menular
lainnya. Untuk kategori khusus terdiri-dari kategori alokasi anggaran
yang berpihak pada MDGs, kesinambungan program MDGs, dampak MDGs pada
komunitas dan inovasi terbaik MDGs untuk kelompok pemuda.
Ajang semacam MDGs Award bisa menjadi stimulus yang cukup efektif untuk
mendorong daerah, pihak swasta dan masyarakat agar lebih giat
mengembangkan program-program atau inisiatif-inisiatif lokalnya dalam
rangka meningkatkan partisipasi yang lebih luas untuk pencapaian target
MDGs. Ada tantangan besar yang harus dihadapi paska berakhirnya IMA,
salah satunya keberlanjutan program untuk tetap bisa menebar virus
positif dan mengakselerasi pencapaian target MDGs yang tinggal tiga
tahun lagi.
Virus Positif
Sejak pertama kali diselenggarakan pada tahun 2007 lalu, MDGs Awards
mendapat sambutan hangat dan respon positif dari banyak kalangan dengan
jumlah peserta yang terus mengalami kenaikan signifikan dari waktu ke
waktu. Sebuah pertanda bagus. Karena, selain bisa menjadi indikasi
meningkatnya peran serta masyarakat luas untuk turut menyukseskan MDGs,
acara tersebut juga bisa menjadi akselerator munculnya program unggulan
dan inisiatif lokal baru yang sifatnya positif.
Bagi program yang terpilih sebagai best practices, bisa menjadi role
model bagi daerah lain sekaligus berkesempatan mempromosikan program dan
daerahnya untuk menjalin kemitraan (partnership) yang luas dalam
lingkup nasional maupun internasional.
Bagi MDGs sendiri yang akan segera berakhir pada 2015 nanti, acara ini
bisa berkontribusi positif dalam mengakselerasi pencapaian
program-program MDGs di Indonesia, yang dalam beberapa bidang masih jauh
dari harapan. Hingga 2011 atau sebelas tahun sejak MDGs dicanangkan,
pencapaian Indonesia atas sejumlah target masih sangat lambat bahkan
cenderung mundur pada sejumlah target tertentu.
Sebagai contoh, kasus kematian ibu dalam proses melahirkan masih
tertinggi di Asia. Demikian pula dengan pencegahan penyebaran HIV/AIDS
yang belum menunjukkan hasil berarti. Yang terjadi justru jumlah
penderita HIV/AIDS terus meningkat dari tahun ke tahun. Masalah
kemiskinan dan kelaparan juga belum teratasi. Kelaparan bahkan masih
sering terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Sementara itu,
diperkirakan hanya 47,73% rumah tangga yang memiliki akses terhadap air
layak minum dan hanya 51,19% yang memiliki akses sanitasi layak
berdasarkan kategori MDGs.
Tantangan ke Depan
Meski menunjukkan perkembangan yang positif, inisiatif-inisiatif lokal
di Indonesia relatif masih terlalu sedikit jika dibandingkan dengan
jumlah daerah yang hampir mencapai 500 kabupaten dan kota. Sebagian
besar pun masih kesulitan jika menyangkut investasi infrastruktur yang
sangat besar. Selain masalah anggaran, persoalan krusial lain yang
dihadapi daerah untuk mengembangkan inisiatif lokal dalam rangka
mengakselerasi pembangunan adalah masih besarnya kebergantungan terhadap
sosok pemimpin. Persoalan lain yang tak kalah signifikan adalah
keberlanjutan program manakala inisiatif atau program unggulan telah
dicetuskan dan mulai berjalan.
Setidaknya dua hal yang harus terpenuhi untuk mendukung keberlanjutan
sebuah program, yakni dukungan anggaran dan regulasi. Dua hal ini sangat
bergantung pada political will pemerintah. Banyak inisiatif lokal dan
program unggulan hanya menjadi sebatas ide karena tidak didukung oleh
anggaran yang memadai. Ada pula yang harus berhenti di tengah jalan juga
karena masalah anggaran. Sangat disayangkan karena bisa jadi sebabnya
bukan karena ketiadaan anggaran namun karena tidak adanya itikad baik
dari pemerintah daerah untuk menyukseskan program.
Selain anggaran, faktor lain yang juga tidak kalah penting adalah
regulasi terutama yang terkait dengan sektor swasta sebagai aktor
penting lain selain pemerintah. Sektor swasta memiliki dana yang sangat
besar, dana program corporate social responsibility (CSR) perusahaan,
misalnya. Namun tanpa regulasi pemerintah, mereka akan lebih banyak diam
atau menyalurkan dananya pada hal-hal lain yang belum tentu sesuai
dengan kebutuhan riil masyarakat. Kehadiran regulasi dapat menjembatani
semua aktor (pemerintah-swasta-masyarakat) dalam sebuah hubungan
kemitraan strategis yang saling menguntungkan sehingga proses
pembangunan bisa berjalan lebih optimal dan berkelanjutan. ***
Tulisan telah dimuat di Rubrik Opini Suara Karya, edisi 14 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar