Ekonomi kreatif telah
menjadi tren di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia. Semakin
banyak kota yang menjadikan ekonomi kreatif sebagai ujung tanduk
promosi pariwisata sekaligus katalisator pengembangan ekonomi daerah.Fenomena ini sejalan dengan teori ekonomi
kreatif yang dikemukakan Richard Florida, bahwa masyarakat dunia saat
ini tengah memasuki transformasi besar dalam ekonomi, yaitu ekonomi
kreatif. Oleh karena itu, kota, kabupaten, atau provinsi tidak cukup
hanya mengandalkan insentif ekonomi bila ingin menarik investasi di
wilayah mereka. Kota-kota harus lebih menumbuhkan ”iklim
orang-orang” daripada iklim bisnis (Florida, 2004).
Menilik dari segi
potensi, Indonesia memiliki potensi yang sangat luar biasa untuk
menjadi pemain utama dalam persaingan ekonomi kreatif. Beragam
kekayaan seni budaya dan sejumlah kekayaan alam yang dimiliki
Indonesia ditambah dengan jumlah penduduk yang sangat besar (sekitar
230 juta jiwa) merupakan fondasi yang sangat baik bagi tumbuhnya
industri kreatif yang kokoh dan prospektif.
Indikasi itu telah
terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Meski terbilang masih kalah
jauh dengan negara-negara maju, perkembangan dan kontribusi ekonomi
kreatif di Indonesia cukup menggembirakan. Pendapatan ekonomi kreatif
meningkat dua kali lipat dari Rp 257 triliun pada 2006 menjadi Rp 486
triliun pada 2010.
Peningkatan ini memengaruhi Pendapatan Domestik
Bruto (PDB) dari 7,4 persen menjadi 7,7 persen. Sementara itu dari
segi ekspor, ekonomi kreatif juga meningkat sebesar 54,12 persen dari
US$ 85 miliar pada 2006 menjadi US$ 131 miliar pada 2010.
Multiflier
effect industri kreatif juga terlihat cukup signifikan terutama
terhadap pengembangan bisnis usaha kecil menengah (UKM) di mana
sebagian besar UKM di Indonesia bergerak di industri kreatif.Dengan
begitu, industri ekonomi kreatif telah berkontribusi dalam mengurangi
tingkat kemiskinan dan menekan jumlah pengangguran.
Studi Departemen
Perdagangan (2007) menyebutkan bahwa pada periode 2002-2006, industri
kreatif mampu menyerap tenaga kerja rata-rata sebesar 5,4 juta
pekerja, dengan produktivitas mencapai Rp 19,5 juta per pekerja per
tahun. Nominal ini lebih tinggi dari rata-rata nilai produktivitas
nasional yang mencapai kurang dari Rp 18 juta.
Selain berkontribusi sangat signifikan
secara ekonomi, ekonomi berbasis ide kreatif ini juga dianggap tidak
terlalu bergantung pada sumber daya alam tak terbarukan sehingga bisa
dikatakan sebagai industri yang ramah lingkungan.
Selain itu, masih
ada sejumlah nilai strategis lain bagi Indonesia terutama bagi
pengembangan potensi lokal. Industri kreatif dapat menjadi sarana
untuk meningkatkan identitas kebudayaan, memopulerkan sekaligus
melestarikannya. Pengemasan yang lebih kreatif akan membuat budaya
lokal Indonesia lebih mudah dikenal tidak hanya hingga ke seluruh
dunia namun juga hingga generasi berikutnya.
"Trend Setter" atau
"Follower"?
Industri kreatif
sangat mengandalkan kreativitas, keahlian, dan bakat seseorang.
Artinya, sumber daya manusia menjadi hal terpenting untuk
menciptakannya. Dalam konteks ini, negara, kota, bahkan individu
sekalipun bisa menjadi trend setter dengan
produk ekonomi kreatif yang bernilai ekonomi tinggi.
Sayangnya,
kreativitas sangat mudah ditiru sehingga bisa memunculkan "followers"
di bidang yang sama. Kondisi dan karakter ini kemudian memunculkan
iklim persaingan yang tinggi, risiko, dan margin yang juga tinggi,
yang pada akhirnya jika tak mampu mempertahankan diri sebagai yang
paling kreatif, bisa saja sebuah produk ekonomi kreatif terkalahkan
oleh ide lain yang lebih kreatif.
Itulah mengapa salah satu ciri
utama dari ekonomi kreatif selain mudah ditiru adalah umumnya tidak
berlangsung lama atau berumur singkat.
Bagaimana mudahnya
sebuah ide kreatif ditiru bisa kita lihat dalam perkembangan fashion
carnival sebagai salah satu produk ekonomi kreatif yang utama di
Indonesia saat ini. Membahas tentang tren fashion carnival, literatur
akan merujuk Kota Jember sebagai kota pertama di Indonesia yang
mengembangkan konsep tersebut dengan Jember Fashion Carnival atau
JFC-nya.
JFC adalah catwalk jalanan sepanjang 3,6 kilomenter dengan
memanfaatkan bahan-bahan alam yang ada di sekitar. Tak hanya sekadar
pertunjukkan yang mengibur, JFC juga mencoba menyampaikan pesan
kritis dalam setiap peragaannya terkait dengan isu-isu global yang
tengah berkembang.
Dengan jumlah penonton mencapai ratusan ribu
setiap pagelaran tahunannya, JFC berhasil mendongkrak pamor Kabupaten
Jember menjadi kabupaten ketujuh dari 38 kota/kabupaten di Jawa Timur
yang memiliki kunjungan wisata cukup tinggi pada 2011.
Kesuksesan ini
tentu membuat banyak kota di Indonesia ingin mengembangkan konsep
serupa. Sejumlah kota telah dengan rutin menggelar acara yang hampir
sama dalam beberapa tahun terakhir.
Jakarta misalnya,
hanya butuh dua tahun untuk mengembangkan konsep yang hampir sama.
Berbeda dengan JFC yang murni menampilkan fashion dalam pagelarannya,
Jakarta memadukan mode dan kuliner sehingga tercipta kegiatan tahunan
bernama Jakarta Fashion and Food Festival (JFFF) yang rutin dihelat
setiap tahun sejak 2004.
Tak mau ketinggalan, Kota Solo segera
menyusul dengan konsep yang lagi-lagi hampir sama, yakni dengan
menggelar Solo Batik Carnival atau SBC, secara rutin sejak 2008.
Mencoba sedikit membedakan diri dengan dua pendahulunya, SBC
menjadikan batik sebagai bahan utama pembuatan kostum yang digunakan
oleh peserta.
Kota lain yang juga tak mau ketinggalan adalah
Banyuwangi dengan Banyuwangi Ethno Carnival atau BEC pada 2011.
Berbeda dengan karnaval di kota lain, BEC mengangkat tema etnik.
Sementara itu, Festival Krakatau yang telah rutin digelar sejak 22
tahun juga mulai menonjolkan fashion dalam setiap perayaan
tahunannya.
Fenomena di atas
menggembirakan di satu sisi, namun di sisi lain perlu diimbangi
dengan pengembangan ekonomi kreatif yang lain. Karena, fashion
carnival seyogianya hanya satu dari sekian banyak bentuk ekonomi
kreatif yang mungkin dikembangkan oleh daerah/kota di Indonesia.
Dengan kalimat lain, terdapat kesempatan besar untuk menjadi trend
setter sekaligus yang terdepan bagi setiap daerah/kota.
Sebagaimana
telah dikemukakan oleh Florida, kota, kabupaten, atau provinsi tidak
cukup hanya mengandalkan insentif ekonomi bila ingin menarik
investasi di wilayah mereka, kota-kota harus lebih menumbuhkan ”iklim
orang-orang” daripada iklim bisnis. Inilah pilar utama dan pertama
yang dibutuhkan untuk menyongsong kebangkitan ekonomi kreatif di
Indonesia. (*)
Tulisan telah dimuat di Rubrik Opini Sinar Harapan, edisi Kamis, 18 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar