![]() |
Gambar dari sini |
Pada peringatan hari Perempuan internasional yang
jatuh setiap 8 Maret, perhatian dunia internasional nampaknya masih
tertuju pada satu isu yang tak kunjung selesai, yakni human trafiicking
atau perdagangan manusia terhadap kaum perempuan. Menurut data PBB, perdagangan manusia saat
ini sudah menjadi sebuah perusahaan kriminal terbesar ketiga di dunia
setelah perdagangan senjata dan narkoba. Dari bisnis ini, para pelaku
dapat meraup laba sekitar USD 7 miliar setiap tahunnya.
Laporan Asia
Development Bank (ADB) memperkirakan satu hingga dua juta manusia
diperjualbelikan setiap tahunnya di seluruh dunia. Bahkan hingga tahun
2008 diperkirakan keuntungan yang didapat oleh traffickers mencapai USD
40 milyar. Salah satu korban trafficking yang kini menjadi pusat
perhatian adalah para pekerja migran terutama pekerja migran perempuan.
Ketimpangan Pendapatan dan Resiko
Tren global menunjukkan jumlah pekerja
perempuan mengalami peningkatan yang sangat signifikan namun ironisnya
seringkali tidak diimbangi dengan perlindungan yang optimal. Padahal,
pekerja migran perempuan termasuk kelompok pekerja migran yang paling beresiko terhadap berbagai tindak kejahatan transnasional khususnya terhadap ancaman human trafficking.
Data terbaru Bank Dunia menyebutkan bahwa 4 dari 10
pekerja global saat ini adalah perempuan, namun secara rata-rata setiap
satu dolar yang dihasilkan laki-laki, perempuan hanya menghasilkan 80
sen. Ketimpangan pendapatan antara perempuan dan laki-laki ini sangat
tidak sebanding dengan tingginya resiko perempuan menjadi korban human
trafficking dibandingkan laki-laki. Fenomena ini terlihat sangat jelas
pada apa yang menimpa banyak tenaga kerja wanita (TKW) kita dalam
percaturan tenaga kerja global saat ini.
Hampir 80 persen
dari sekitar 6,5 juta pekerja migran kita adalah perempuan. Fakta ini
memunculkan stigma dan persepsi di masyarakat, tenaga kerja Indonesia
(TKI) identik dengan tenaga kerja wanita (TKW). Lebih spesifik lagi
identik dengan pembantu rumah tangga (PRT). Sebagian dari mereka
berpendidikan rendah sehingga banyak terserap ke sektor informal
terutama PRT. Keadaan ekonomi yang sulit, lapangan kerja yang sempit dan
tidak adanya akses terhadap permodalan membuat banyak perempuan,
terpaksa menjadi TKW. Sebagian dari mereka ada yang berhasil menjadi
tulang punggung keluarga, namun tidak sedikit yang menjadi korban human trafficking (perdagangan manusia) dan beragam bentuk perbudakan lainnya di negeri orang. Hampir setiap hari kita bisa mendapatkan kabar duka dari para pekerja migran kita. Mulai
dari pelecehan seksual, penyiksaan baik fisik maupun mental yang
menyebabkan depresi, cacat, sakit, gila bahkan meninggal dunia. Belum
lagi pelanggaran hak-hak lainnya seperti gaji yang tidak dibayar dan
tidak adanya waktu libur.
Migrant Care Indonesia memperkirakan sebanyak 43 persen atau sekitar 3 juta dari total buruh migran Indonesia adalah korban human trafficking.
Data ini tidak hanya mencakup pekerja migran yang bekerja secara
illegal namun juga mereka yang secara resmi mengikuti mekanisme
pemerintah alias pekerja migran legal. Korban perdagangan manusia sangat
rawan terhadap eksploitasi, baik secara seksual maupun kerja paksa.
Sementara itu, secara umum Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat, sepanjang tahun 2010 hingga 1
November, kasus penganiayaan yang menimpa TKI kita cukup tinggi. Yakni
sebanyak 3.835 di 18 negara tujuan pengiriman. Ini yang berhasil didata.
Kasus di lapangan dipastikan jauh lebih besar.
Data yang lebih
mencengangkan tentang kasus human trafficking di Indonesia dirilis oleh
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat pada 2010 yang menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara sumber utama human trafficking, negara tujuan dan transit bagi perempuan, anak-anak dan orang-orang yang menjadi sasaran human trafficking,
khususnya prostitusi dan kerja paksa. Ini terjadi karena migrasi yang
berlangsung di Indonesia adalah migrasi yang tidak aman, sehingga
trafficking seakan menjadi bagian integral dalam proses migrasi itu
sendiri. Mulai dari pemalsuan dokumen, pemalsuan identitas, umur,
kemudian akses informasi yang tidak sampai ke basis calon buruh migran
sampai minimnya perlindungan hukum dari negara.
Perlindungan Holistik
Sebagai ancaman
yang sangat serius, human trafficking terutama pada perempuan harus
diantisipasi melalui upaya dan kerjasama yang holistic. Perlu ada burden sharing
pengawasan dan penanganan yang lebih baik antara pusat dan daerah untuk
menekan masalah TKW hingga ke level paling bawah di samping kerjasama
internasional yang intens dengan semua pihak.
Selain segera
meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Pekerja Migran
dan Anggota Keluarganya, penting pula untuk membuat MoU dengan sejumlah
negara tujuan terutama negara yang memiliki banyak catatan kasus praktik
human trafficking seperti Malaysia dan Arab Saudi. Aspek hukum ini
harus ditindaklanjuti dengan peningkatan daya saing dan kompetensi TKW
untuk meningkatkan posisi tawar mereka saat bekerja di luar negeri.
Termasuk pembekalan informasi dan pengetahuan yang memadai tentang hak
dan kewajiban mereka sebagai pekerja migran yang dilindungi oleh
undang-undang.
Selain sejumlah
langkah strategis di atas, persoalan paling mendasar yang harus
dituntaskan adalah masalah kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi terhadap
perempuan karena inilah akar masalah yang sesungguhnya. Perempuan perlu
diberi akses yang lebih luas agar bisa mengentaskan dirinya dari
kemiskinan dan mengambil peran yang lebih penting dalam pembangunan.
Tulisan telah dimuat di Rubrik Opini Sinar Harapan, edisi Jumat 13 April 2012
Tulisan telah dimuat di Rubrik Opini Sinar Harapan, edisi Jumat 13 April 2012
semoga pelaku trafficking tertangkap semua dan dapat di hentikan . kasihan kan keluarga korban :(
BalasHapusYa, dan masih banyak langkah konkrit lain yang harus dilakukan karena masalah ini sangat kompleks....
BalasHapusayo berantas human trafficking di indonesia dan dunia
BalasHapusGreat article …Thanks for your great information, the contents are quiet interesting.
BalasHapus